Jakarta, Portonews.com – Kejadian yang berlangsung pada tahun 1975 ini menjadikannya kasus yang menarik untuk dijadikan salah satu contoh karena kasus ini terjadi di tengah minimnya legislasi internasional maupun nasional.
Pada bulan Januari 1975 kapal tanker Showa Maru, yang membawa minyak mentah dari Teluk Persia menuju Jepang, kandas dan menumpahkan minyak di Selat Malaka sehingga menumpahkan minyak mentah sebanyak 7300 ton.
Berdasar keterangan dari Mahkamah Pelayaran Indonesia, kandasnya kapal Showa Maru bermula dari kelalaian nakhkoda yang mana tanker membentur karang sehingga menyebabkan dasar kapal sepanjang 160 meter sobek.
Sebagai akibat tumpahan minyak tersebut, langkah cepat segera diambi oleh pemerintah Indonesia dengan membentuk 3 Satuan Tugas di bawah koordinasi tiga menteri, yaitu Menteri Perhubungan menangani segi teknis operasional, Menristek menangani urusan penelitian dan Menteri Kehakiman mempersiapkan perangkat hukum dan ganti ruginya.
Regulasi Indonesia Lemah
Dari segi hukum, masalah Showa Maru di waktu itu justru menempatkan Indonesia pada posisi sangat lemah dan sulit dalam penyelesaian hukum dan tuntutan ganti rugi. Karena selain belum ada UU Nasional tentang Pencemaran Laut, juga karena konvensi-konvensi internasional yang ada seperti Konvensi Brussel tahun 1969 belum diratifikasi.
Untuk mengatasinya, delegasi Indonesia berkonsultasi ke Malaysia, Singapura, Thailand dan Philipina. Namun upaya delegasi tidak berhasil karena penanggulangan hukum pencemaran laut di negara-negara tersebut juga masih pada tahap awal, kecuali Singapura yang sistem hukumnya telah menggunakan pola Konvensi London tahun 1954.
Kerusakan Lingkungan
Sementara itu pakar hukum Prof. Dr. Komar Kantaatmadja, SH, mengatakan bahwa saat itu kerusakan ekologi laut di Indonesia sangat sedikit dituntut ganti rugi, karena kerusakan akibat pencemaran oleh tumpahan minyak berada di luar jangkauan asuransi.
Peristiwa Showa Maru yang melemahkan posisi Indonesia, menurut Komar karena kriteria kerusakan, metode survei dan dasar hukum nasional maupun internasional kurang jelas.
Maka klaim Indonesia -berkaitan kerusakan mata rantai makanan akibat terganggunya ekosistem kelautan oleh tumpahan minyak- atas kerusakan ekologi laut dalam jangka panjang tidak dapat diterima.
Kesulitan Bagi Nelayan
Akibat jangka langsung maupun tidak langsung atas kejadian ini adalah nelayan setempat masih saja mengalami kesulitan mendapat hasil tangkapan ikan seperti sebelum kejadian kecelakaan kapal dan bahkan penduduk yang biasa mengandalkan hidupnya pada mencari kayu bakar pun tak luput dari kesusahan.
Sebab hutan bakau yang menjadi sumber penghasil kayu bakar mengalami kerusakan dan kekeringan.
Indonesia sendiri sudah mulai mendapat ganti rugi dari pemilik Showa Maru, tanker Jepang yang kandas karena bocor di Selat Malaka, Januari 1975.
Ganti Rugi
Pembayaran yang meliputi US $ 1,2 juta itu baru merupakan pembayaran tahap pertama dan akan digunakan untuk ongkos pembersihan perairan bagian Indonesia yang tercemar serta pembayaran ganti rugi nelayan yang sementara ini terputus jalur mata pencarian mereka.
Namun hingga 3 tahun setelah kejadian tersebut masalah ganti rugi masih saja meninggalkan persoalan bagi penduduk Kabupaten Kepulauan Riau, yaitu soal ganti rugi bagi penduduk yang menderita kerugian langsung ataupun tidak langsung akibat tercemarnya wilayah laut.
Simpang Siur Berita
Pada masa itu, terdapat proyek pembangunan pelabuhan dan tempat pendaratan ikan di Teluk Antang, Pulau Tarempa namun asal dana proyek tersebut juga masih simpang siur karena belum tentu merupakan uang ganti kerugian atau juga sumbangan dari pemilik Showa Maru.
Sementara berdasar keterangan dari Departemen Luar Negeri, mengatakan bahwa perundingan dengan pemilik kapal baru sampai pada taraf menyetujui biaya pembersihan saja.
Sementara mengenai masalah ganti rugi untuk korban warga sekitar masih dalam proses dan akan ditangani oleh Departemen Dalam Negeri dengan dibantu oleh instansi lainnya.