Pemerintah Indonesia kini berada di persimpangan jalan yang kritis dalam kebijakan energi. Keputusan untuk mempensiunkan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbahan bakar batu bara, yang sudah lama menjadi tulang punggung penyediaan energi nasional, bukanlah pilihan yang mudah. Namun, data yang diungkap oleh Centre for Research Energy and Clear Air (CREA) dan Kesehatan untuk Bumi (KEBUMI) membuat urgensi keputusan ini semakin tak terbantahkan.
Menurut CREA, tiga PLTU batu bara di Jawa Barat dan Banten saja sudah membebani ekonomi sebesar USD885 juta atau sekitar Rp13,1 triliun per tahun. Beban ini muncul dari peningkatan risiko dan insiden penyakit pernapasan, serta penurunan produktivitas ekonomi. Lebih dari itu, operasi ketiga PLTU tersebut diklaim bertanggung jawab atas 1.263 kematian setiap tahunnya. Angka-angka ini hanyalah sebagian kecil dari dampak yang lebih besar di seluruh Pulau Jawa, di mana PLTU berbasis batu bara diduga menyebabkan 6.928 kematian dan kerugian ekonomi sebesar USD4,8 miliar atau Rp71,3 triliun per tahun. Fakta-fakta ini mengungkap harga sebenarnya dari ketergantungan kita pada energi kotor.
Dampak kesehatan dari polusi udara akibat PLTU semakin mencolok. KEBUMI mencatat bahwa risiko penyakit paru-paru seperti PPOK, asma, pneumonia, kanker paru-paru, dan tuberkulosis (TBC) meningkat secara signifikan akibat paparan polusi udara. Misalnya, risiko PPOK kini berada di level 22,4%-36,6%, sementara risiko asma mencapai 27,95%. Angka-angka ini menggambarkan betapa parahnya efek kesehatan yang dialami masyarakat, yang pada akhirnya berujung pada tingginya biaya pengobatan yang harus ditanggung negara, mencapai Rp38 triliun setiap tahun.
Dengan situasi yang kian mendesak ini, pemerintah tengah mempersiapkan daftar pensiun dini bagi 13 PLTU batu bara. Ini adalah langkah yang perlu disambut baik, namun belum cukup. Masyarakat berhak untuk mendesak pemerintah agar lebih serius dalam menindaklanjuti rencana ini. Pengalihan menuju energi baru dan terbarukan (EBT) harus segera dipercepat dan dijalankan dengan komitmen penuh untuk menjamin pasokan energi yang lebih bersih dan berkelanjutan.
Jika pemerintah gagal bertindak tegas, maka bukan hanya kesehatan masyarakat yang akan terus dikorbankan, tetapi juga ekonomi nasional yang akan terus tergerus oleh biaya yang harus ditanggung akibat polusi udara. Ini bukan sekadar wacana, tetapi soal kehidupan dan masa depan bangsa. Waktunya bertindak sudah lewat. Sekarang adalah saatnya untuk bertindak nyata demi kesehatan rakyat dan kelangsungan hidup bumi ini.