Pelarangan Ekspor Bijih Nikel

Jakarta, Portonews.com – Temuan ekspor ilegal 5 juta ton bijih nikel ke Cina menjadi perbincangan serius. Apalagi Presiden Joko Widodo tengah bersemangat 45 merilis regulasi pelarangan ekspor bahan mentah sektor pertambangan. Ditambah lagi rekomendasi International Monetary Fund (IMF) pada pemerintah Indonesia untuk menyetop larangan ekspor bijih nikel.

Isu ekspor ilegal nikel ini menjadi lebih seru lagi lantaran diduga ada orang dekat Istana yang menjadi pelakunya, berinisial WAS. Bahkan Kejaksaan Agung telah menetapkan WAS sebagai tersangka kelima dalam kasus dugaan korupsi pertambangan nikel di Kabupaten Konawe Utara, Sulawesi Tenggara.

WAS dikenal sebagai mantan relawan pendukung Jokowi diduga korupsi yang merugikan negara Rp 5,7 triliun terkait konsorsium perjanjian kerja sama operasional (KSO) antara PT ANTAM dan PT Lawu Agung Mining (LAM) periode 2021-2023.

Larangan Presiden untuk mengekspor bijih nikel dengan tujuan Indonesia bakal mendapat nilai tambah lebih bila bijih nikel diolah lewat smelter di dalam negeri. Proses ini dikenal sebagai hilirisasi. Hilirisasi adalah proses pengolahan nikel mentah atau biji nikel menjadi produk akhir yang memiliki nilai tambah tinggi dan dapat diperjualbelikan sehingga bernilai ekonomi.

Dilansir dari kimia.unimudasorong.ac.id, produk yang bisa dihasilkan dari hilirisasi nikel di antaranya adalah logam nikel murni yang dapat menjadi bahan untuk pembuatan kawat listrik, tabung vakum, peralatan kimia, dan industri lainnya.

Fakta di lapangan, regulasi pelarangan ekspor bijih nikel tidak semudah di atas kertas. PT Antam Tbk, sebagai BUMN diketahui pernah meminta relaksasi ekspor bijih nikel kadar rendah 1,7 persen sebesar 3.300.000 wet metrik ton pada 13 April 2020.

Permintaan itu hanya sebulan setelah pemerintah memberlakukan PP Nomor 21 Tahun 2020 tentang PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) akibat wabah Covid-19.

Menurut Direktur Eksekutif CERI, Yusri Usman, permintaan diketahui dari surat Direktur Utama PT Antam Tbk kepada Menteri ESDM. Surat itu surat bernomor 1290/09/DAT/2020 tanggal 13 April 2020 yang ditandatangani Dirut PT Antam Tbk, Dana Amin.

Isi surat meminta relaksasi ekspor bijih nikel kadar rendah 1,7 persen sejumlah 3.300.000 wet metrik ton dan perusahaan lainnya sebanyak 28.980.000 wet metric ton. Bahkan, kata Yusri, dalam surat itu mereka minta Menteri ESDM mencabut Peraturan Menteri ESDM Nomor 11 Tahun 2019.

Keberadaan surat tersebut sangat penting mengingat KPK merilis berita ekspor ilegal bijih nikel sebanyak 5,3 juta wet metric ton ke Cina.

Dengan kasus-kasus tersebut, dapat dikatakan bahwa regulasi pelarangan ekspor tidak berjalan mulus. Ada tantangan dari Antam yang notabene adalah BUMN. Bahkan tindakan pembangkangan terhadap kebijakan pelarangan ekspor hingga dugaan korupsi pertambangan nikel. Inilah realitas dunia pertambangan Indonesia.

BeritaTerkait Lainnya

Edisi Terakhir Portonews

LEBIH MUDAH DENGAN APLIKASI PORTONEWS :

Welcome Back!

Login to your account below

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Translate »