Keuangan OK, Perdagangan Seret!

Kalaupun ada kesepakatan yang diakui oleh semua umat manusia, adalah uang, sebagai representasi dari barang dan jasa sesuai nilainya. Akan tetapi tidak mudah menjaga nilai uang dalam satu komunitas besar, dalam satu organisasi yang bernama negara.

Satu literatur menyebutkan, lembaga bank pertama kali berdiri tahun 2000 SM di Babylonia. Konon, bank yang disebut Temples of Babylon ini meminjamkan emas dan perak dengan mematok bunga sebesar 20% per bulan. Kemudian bank yang menerima simpanan dan meminjamkan uang dengan bunga tertentu, berdiri di Venesia, Italia, tahun 1171, Bank of Venice.

Bagi kaum optimis yang selalu memimpikan hidup yang lebih baik, lahirnya lembaga perbankan membuka perspektif baru tentang peluang dan masa depan. Tapi perbankan juga menciptakan ruang yang nyaman bagi mereka yang punya banyak uang tapi malas bekerja. Perkembangan selanjutnya, lembaga jasa keuangan tidak hanya perbankan, ada asuransi, dana pensiun, pasar modal, pasar obligasi, leasing, dan seterusnya.

Ukuran kesuksesan lembaga jasa keuangan, apabila kegiatan usaha yang dibiayai dengan dana kredit yang disalurkannya, menghasilkan uang sebagai laba dalam jumlah yang nilainya lebih besar. Saat ini di Indonesia, begitu banyak proyek, khususnya infrastruktur, yang menyerap dana dalam jumlah besar dari berbagai lembaga keuangan. Bahkan, beberapa proyek didanai oleh lembaga keuangan asing.

Tentu saja, selain untuk membiayai proyek-proyek infrastruktur yang return-nya baru bisa didapat dalam jangka panjang, kecuali infrastruktur itu disekuritisasi, lembaga keuangan juga membiayai sektor riil.

Output dari sektor riil adalah produk dan komoditas kemudian dijual di pasar, baik pasar domestik atau ekspor. Indonesia sudah sejak lama menjadi eksportir komoditas, baik komoditas tak terbarukan seperti minyak, gas, batubara, dan mineral lainnya, juga komoditas terbarukan semacam hasil pertanian.

Saat ini porsi ekspor komoditas Indonesia masih sangat besar, 65%. Harga komoditas relatif ‘murah’. Kalaupun pada satu masa harga komoditas tertentu atau yang substitutif melambung tinggi, berarti ada crash pada sisi supply.

Output lain yang dihasilkan sektor riil adalah produk manufaktur. Produk ini akan memiliki daya saing tinggi jika memiliki beberapa keunggulan, tingkat kegunaan yang tinggi, inovasi, kualitas dan harga yang bersaing. Nah, produk-produk manufaktur inilah yang oleh negara-negara tetangga sudah sejak beberapa tahun lalu diandalkan menjadi mesin penghasil devisa lewat ekspor.

Porsi produk-produk padat teknologi dan inovasi dari total ekspor negara-negara tetangga sudah berkisar 35% sampai 50%, sementara Indonesia baru 9,5%. Maka wajar kalau devisa hasil ekspor yang didapat Indonesia jauh lebih sedikit dibanding negara-negara tetangga. Kenapa demikian? Alasannya banyak.

Tapi secara umum, dua hal yang menyebabkan nilai ekspor Indonesia relatif kecil. Pertama, terlambat memperluas pasar ekspor. Devisa yang dihasilkan tidak bertambah karena jumlah barang yang dijual juga tidak bertambah. Kedua, terlambat mengkonversi komoditas menjadi produk, terlambat mentransformasi industri dari padat karya ke padat teknologi dan inovasi.

Devisa yang didapat tidak bertambah, karena nilai barang yang dijual juga tidak bertambah. Ya kalau mau memakai kalimat superlatif, ‘para eksportir Indonesia yang notabene pelaku sektor industri, malas mencari pembeli baru, malas membuat produk baru yang nilainya lebih tinggi’. Pantaslah Presiden Jokowi ngomel-ngomel.

BeritaTerkait Lainnya

Edisi Terakhir Portonews

LEBIH MUDAH DENGAN APLIKASI PORTONEWS :

Welcome Back!

Login to your account below

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Translate »