Bergerak adalah kodrat mahluk hidup yang paling hakiki. Demikian juga manusia yang secara terus-menerus berusaha memperbaiki kualitas hidupnya, tidak pernah berhenti bergerak. Setiap usaha dilakukan dengan gerakan. Peradaban dimulai dan dibangun dengan pergerakan, perpindahan posisi dari satu tempat ke ke tempat lain, baik yang dekat maupun yang jauh. Pergerakan adalah lambang dari produktifitas.
Semakin tinggi peradaban manusia, semakin banyak kebutuhannya. Manusia dituntut bergerak lebih cepat, lebih lama, dan lebih sering lagi. Fisik manusia itu sendiri tidak memungkinkan bergerak lebih cepat, lebih jauh, lebih sering lagi dari kewajarannya. Maka ‘dibuatlah’ moda transportasi, tandu, kuda, kereta kuda, kemudian mobil. Kini mobil adalah simbol pergerakan, simbol produktifitas manusia.
Mobil yang dalam pembuatan dan penggunaannya menerapkan prinsip kerja teknologi, dari waktu ke waktu bentuk, rupa, dan fungsinya terus berubah. Makin baik, sesuai kebutuhan dan selera penggunanya. Bahkan kemudian mobil dibuat bukan sekadar bisa mengeksekusi tugasnya, mengantarkan, tapi sebagai benda seni yang ‘mampu’ membangun persepsi yang ‘lebih baik’ dari pemiliknya di mata orang lain. Kecuali untuk mengangkut barang, semua mobil diiklankan setara dengan bukti cinta, cinta terhadap keluarga atau Sang Kekasih.
Dalam konteks sosial kemasyarakatan, mobil adalah simbol kemapanan, kesejahteraan. Begitu juga dalam skala yang lebih besar, yaitu negara, memiliki industri otomotif sendiri, brand sendiri, teknologi yang dikembangkan oleh bangsa sendiri, adalah kebanggaan kolektif, wahana untuk menyalurkan patriotisme dalam berkendara. Sayangnya, meskipun Indonesia sudah merdeka lebih dari 70 tahun, memiliki industri otomotif nasional yang memproduksi mobil nasional, hingga kini masih berupa angan-angan.
Indonesia tertinggal jauh oleh Malaysia, Nigeria, bahkan Uganda yang sebagian dari masyarakat mengingatnya identik dengan potret muram kehidupan Afrika. Bukannya tidak mau atau tidak mampu. Jangankan untuk membuat mobil, membuat pesawat terbang pun putra-putri Indonesia mampu melakukannya. Sejak dekade 1990an, sudah lebih dari 20 proyek mobil nasional diluncurkan, semua terhenti di tengah jalan, tidak satupun sampai di gerbang pasar otomotif nasional yang sangat besar.
Pasar otomotif nasional adalah kue yang sangat besar, nilainya ratusan triliun Rupiah, dan ke depannya masih akan terus tumbuh. Bukan hanya para produsen otomotif ternama dunia yang sudah puluhan tahun betah di Indonesia, produsen mobil yang baru kemarin pun tak mau ketinggalan mencicipi kue pasar otomotif nasional.
Lalu mengapa Indonesia tidak mempunyai brand lokal yang menjadi tuan rumah di pasar yang besar ini? Industri otomotif adalah soal uang dalam jumlah sangat besar. Berbisnis adalah seni mendapat keuntungan. Sementara memproduksi jauh lebih sulit daripada menjual. Kalau dengan menjual keuntungan yang diraih bisa lebih besar, mengapa harus capek-capek memproduksi? Tapi sudahlah. Lebih baik dikatakan: ini karena selama puluhan tahun Pemerintah tidak berkomitmen untuk mewujudkan mobil nasional. Entah kalau ada orang pemerintah yang juga ingin ikut berdagang.