Menjerat Pelaku Karhutla

MUNGKIN saja di antara kita semua, jika diajak tidur bersama di alam terbuka namun di kiri-kanan berseliweran asap,pasti buru-buru menggoyangkan lima jari tangan, menyiratkan arti menolak. Walau diberi fasilitas spring bed, bed cover serta bantal empuk dan tenda kemah penuh dengan makanan lezat, pasti tidak ada satupun yang mau.

Asap telah melumat kota-kota besar penghasil sawit, dan juga Akasia, bahkan tanaman kayu seperti Meranti, Damar, tanaman keras yang tumbuh di perkebunan plus hutan di Sumatera dan Kalimantan. Lumatan asap melalap kota-kota sejak Juni 2019 sudah dirasakan. Bahkan kota-kota penghasil minyak dan gas serta batubara diselimuti asap walau bukan mereka penyebabnya.Rasanya ingin berlari, kabur meninggalkan rumah ketika asap menyergap lingkungan.

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat, total ada 328.724 hektar lahan yang terbakar dengan 4.319 titik panas selama Januari-Agustus 2019. Provinsi Kalimantan Tengah memiliki titik api paling banyak yaitu sejumlah 1.996 titik, kemudian diikuti Kalimantan Barat (1.150); Kalimantan Selatan (199); Sumatera Selatan (194); Jambi (105); dan Riau (14).

Dapatkan Majalah PORTONEWS versi digital

Rentetan pasal-pasal digelar untuk menjerat pelaku Karhutla. Direktorat Jenderal Penegakan Hukum (Ditjen Gakkum) KLHK menyebutkan dasar hukum perdata. Antara lain, Pasal 87 ayat (1) UU 32/2019, berbunyi setiap penanggung jawab usaha dan/ atau kegiatan yang melakukan perbuatan melanggar hukum berupa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang menimbulkan kerugian pada orang lain atau lingkungan hidup wajib membayar ganti rugi dan/atau melakukan tindakan tertentu.

Kemudian, Pasal 90 ayat (1) UU 32/2009, berbunyi instansi pemerintah dan pemerintah daerah yang bertanggung jawab dalam bidang lingkungan hidup berwenang melakukan gugatan ganti rugi dan tindakan tertentu terhadap usaha dan/ atau kegiatan yang menyebabkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang mengakibatkan kerugian lingkungan hidup. Selanjutnya, Ditjen Gakkum turut memasukkan instrumen penegakan hukum pidana melalui Pasal Sangkaan Pidana Berdasarkan UU No. 41/1999 tentang Kehutanan.

Terkait dengan penguatan efek jera, perluasan skala penindakan mencakup pidana tambahan, yaitu Pasal 119 UU 32/2009, di antaranya perampasan keuntungan, penyegelan, dan forensik geospasial. Berdasarkan data Ditjen Gakkum, KLHK tercatat sudah memberikan 211 sanksi administratif, 17 gugatan perdata, dan 85 tindak pidana sepanjang 2015-2018.

Para pelaku pembakar hutan dan lahan tetap tidak jera. Walau diancam pasal berlapis, tetap saja kejadian Karhutla marak,dari tahun ke tahun. Ibaratkan minum obat, kasus Karhutla dalam setahun bisa terjadi 2 sampai 3 kali di lokasi berbeda-beda dan sporadis.  

Sepertinya Direktorat Jenderal Penegakan Hukum Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup perlu belajar dari Bu Susi Pudjiastuti, Menteri Kelautan dan Perikanan. Dengan tegas Susi serukan tenggelamkan pelaku pencuri ikan di lautan Indonesia.  Apakah perlu pelaku Karhutla ditenggelamkan? Ah andai saja bisa. Jangan setengah hati tegakkan hukum atasi perusak hutan dan lahan di negeri ini. Bertaubatlah

Godang Sitompul

BeritaTerkait Lainnya

Edisi Terakhir Portonews

LEBIH MUDAH DENGAN APLIKASI PORTONEWS :

Welcome Back!

Login to your account below

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Translate »