Jauh sebelum memproduksi meriam, senapan otomatis, bom, peluru kendali dan pesawat tempur, Amerika Serikat telah lebih dulu menciptakan sistem ‘keamanan dan ketahanan pangan’ bagi rakyatnya. Sampai sekarang sistem ini tetap menjadi prioritas utama, dan dijaga dengan segala cara. Jangan heran kalau Amerika tidak malu-malu untuk mensubsidi pertaniannya dengan angka yang juga tidak malu-malu, sekitar US$100 miliar – US$150 miliar per tahun. Padahal semua tahu, mereka adalah bandar kampanye penghapusan subsidi di negara-negara lain.
Di jalan-jalan raya di Korea Selatan berbagai bentuk dan tipe mobil bisa ditemukan. Mulai dari mobil ber-design Eropa yang estetis, model mobil Jepang yang compact, hingga gaya mobil Amerika yang besar-besar. Namun, jika diperhatikan lebih dekat, hanya ada empat merek mobil yang lalu lalang di sana, yaitu Hyundai, KIA, Daewoo, dan ‘merek lain’ yang jumlahnya tidak begitu banyak. Korea Selatan adalah negara yang bisa bangkit dari kehancuran perang, lalu tumbuh menjelma menjadi negara maju. Itu bisa dicapai karena mereka mau bekerja keras memajukan industri dalam negerinya, mencintai dan yang pasti menggunakan produk-produk dalam negerinya.
Orang-orang Malaysia akan sangat antusias ketika berbicara industri otomotif. Mereka sangat bangga dengan Proton yang kini memproduksi hampir semua tipe mobil. Di hampir seluruh penjuru Malaysia, Proton adalah merek mobil yang dominan dalam jumlah di jalan-jalan raya.
Begitu juga dengan orang India. Industri film Bollywood bisa maju, bahkan dari segi kuantitas film yang dihasilkan dan jumlah penonton, mereka sudah melebihi Hollywood. Itu hanya mungkin karena masyarakat India lebih suka menonton film Bollywood ketimbang film Hollywood. Kemudian, jenis barang apa yang tidak diproduksi TATA? Mulai dari air minum kemasan, produk elektronika, komputer, otomotif, hingga persenjataan modern. Semuanya laku di pasar domestik India yang sangat besar.
Setiap pemerintahan menempuh berbagai cara dalam menumbuh-kembangkan industri dalam negerinya. Tapi, apapun cara yang ditempuh satu negara dalam memajukan industrinya, ditandai oleh tiga ciri: sikap dunia usaha yang tidak manja dan cengeng, komitmen pemerintahannya yang sangat kuat, dan kecintaan warganya terhadap produk-produk yang dihasilkan. Tentu saja impor bukan sesuatu yang haram. Tapi mengandalkan produk impor dalam jangka panjang adalah kebodohan yang nyata. Jadi, memajukan industri dalam negeri itu pada dasarnya adalah soal kecintaan kepada negeri.
Awal dekade 1990an Amerika Serikat gencar merayu hingga ‘memaksa’ Jepang agar membuka pasarnya bagi produk-produk pertanian Amerika, khususnya beras. Biar Amerika tidak ‘ngambek’, Perdana Menteri Jepang, Kiichi Miyazawa waktu itu menyanggupinya. Tapi, pada saat yang sama Miyazawa juga berkampanye keliling Jepang, meminta agar warga Jepang tetap memilih produk-produk pertanian Jepang, meskipun harganya lebih mahal.
Tahun 1992, saat berkunjung ke Jepang, Presiden George H.W. Bush tiba-tiba jatuh pingsan ketika jumpa pers. Sebelumnya ia mendapat penjelasan, meskipun produk pertanian Amerika sudah masuk di pasar Jepang, tapi warga Jepang tidak mau membelinya. Ini hebat. Bush hebat, begitu mencintai para petani di negaranya. PM Miyazawa dan rakyat Jepang lebih hebat, mereka tahu apa yang harus dilakukan untuk menjaga pasar domestik di negaranya.
Jadi, untuk memajukan industri Indonesia, bukan hanya soal segigih apa kalangan industri Indonesia, sekuat apa komitmen pemerintah, tapi se-‘Merah Putih’ apa masyarakat kita ketika berbelanja? Negeri ini terlalu kaya dan terlalu besar untuk tidak menjadi negara maju.