KETIKA Presiden Soekarno mencanangkan Politik Berdikari pada pidato 17 Agustus 1965 dan diberi judul : Tahun Berdikari, membuat rakyat Indonesia tergugah semangatnya untuk bangkit, berdiri di atas kaki sendiri.
Berdikari dalam ekonomi berarti Indonesia harus bersandar pada dana dan tenaga yang memang sudah ada di tangan anak bangsa dan menggunakannya semaksimal-maksimalnya. Sudah tidak boleh lagi terjadi ‘ayam mati di lumbung’, karena tanah air Indonesia kaya raya akan sumber daya alam.
Melalui Dekon (Deklarasi Ekonomi), sebagai perencanaan pembangunan ekonomi berdiri, Bung Karno meletakkan kedudukan rakyat sebagai sumber daya sosial bagi pembangunan. Dia yakin bahwa rakyat akan menjadi sumber daya ekonomi yang optimal bagi pembangunan bila aktivitas dan kreativitasnya dikembangkan. Soekarno tanpa tedeng aling-aling mengecam keras cara-cara text-book thinking. Mengambil begitu saja pemikiran-pemikiran para ahli ekonomi Barat, tanpa memperhatikan kondisi di Indonesia.
Dapatkan Majalah PORTONEWS versi digital
Era Soekarno sudah berakhir dan puluhan tahun kemudian putrinya, yakni Megawati Soekarnoputri menjadi Presiden Indonesia kelima, semangat berdikari tak pudar tertelan waktu. Bahkan kini, ketika Joko Widodo, yang diusung oleh partainya Megawati, yakni PDI Perjuangan, menjadi Presiden ketujuh dan berlanjut menjadi yang kedelapan, semangat Berdikari tidak hilang.
Berdikari kini diejawantahkan menjadi Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) pada industri di Indonesia. Presiden Joko Widodo (Jokowi) memutuskan untuk membentuk Tim Nasional Peningkatan Penggunaan Produksi Dalam Negeri untuk memantau penggunaan produk lokal dalam pembangunan nasional. Pembentukan tersebut tertuang dalam Keputusan Presiden Nomor 24 Tahun 2018 tentang Tim Nasional Peningkatan Penggunaan Produksi Dalam Negeri.
Berdasarkan data dalam Daftar Inventarisasi Barang Produksi Dalam Negeri Bersertifikat TKDN 2011-2016 yang dikeluarkan Kementerian Perindustrian, belum ada produk yang memiliki persentase TKDN 100 persen. Memang ada produk dari beberapa perusahaan yang memiliki spesifikasi produk dengan TKDN di atas 95 persen. Tapi, barang-barang itu masih didominasi bahan baku dan bahan penunjang.
Sepertinya penerapan TKDN masih setengah hati. Bahkan nyaris disebut basa-basi. Kenapa bisa begitu? Seorang teman bercerita pernah mau urus ijin penggunaan TKDN di suatu instansi yang menggawangi bisnis “emas hitam”, alias minyak mentah, terpaksa gigit jari. Ditolak mentah-mentah memasukkan TKDN dalam komponen drilling. Penolakannya dikarenakan barang impor dinilai berkualitas ketimbang barang buatan dalam negeri. Apalagi user yang memakai jasa perusahaan kawan itu, sangat fanatik dengan “Made in USA”.
Di sinilah peranan Pemerintah Republik Indonesia yang tercinta harus unjuk gigi. Memberi dukungan sepenuh hati bukan setengah-setengah, apalagi seperampat hati. Ibaratkan main bola kaki, harus total football. Mendudukan TKDN dalam porsi besar, ini bentuk dukungan pemerintah bagi industri dalam negeri. ℗ Godang Sitompul