Jakarta, Portonews.com – Hutan memiliki dua fungsi sekaligus. Pertama, sebagai penyerap utama emisi gas rumah kaca (GRK). Kedua, hutan di Indonesia juga menjadi penyumbang terbesar emisi GRK. Kok bisa disebut sebagai penyumbang terbesar? Jamak diketahui bahwa emisi terbesar berasal dari kebakaran hutan dan lahan, dekomposisi gambut, serta deforestasi.
Berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), ada 2.724 peristiwa bencana alam di Indonesia selama periode 1 Januari-1 September 2023.
Terdapat 487 kebakaran hutan dan lahan (karhutla), 442 kejadian tanah longsor, 60 kekeringan, 24 gelombang pasang/abrasi, 21 gempa bumi, serta 2 kejadian erupsi gunung api. Sedang bencana banjir terjadi sebanyak 852 kejadian, diikuti cuaca ekstrem 836 kejadian.
Di bawah ini jumlah kejadian Bencana Alam di Indonesia (1 Januari–1 September 2023) dari BNPB
Walaupun demikian, Indonesia mempunyai target yang sangat besar terhadap penurunan emisi gas rumah kaca dari sisi kehutanan. Berapa targetnya? Pemerintah mematok target setara minus 140 juta ton karbondioksida pada 2030. Oleh sebab itu, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) meluncurkan program Indonesia’s Forest and Other Land Use (FOLU) Net Sink 2030. Program ini menargetkan kondisi serapan emisi karbon dari sektor kehutanan dan penggunaan lahan akan seimbang atau lebih tinggi dari emisi yang dilepas pada 2030.
Melihat banyaknya jumlah kebakaran hutan dan dampak perubahan iklim tersebut, tidak heran bila Koalisi Masyarakat Sipil untuk Keadilan Iklim pun mendesak Pemerintah Indonesia segera menyusun Undang-undang Keadilan Iklim. Kompleksitas isu iklim yang bersifat lintas sektoral (cross-cutting) membuat pembentukan legislasi khusus isu iklim menjadi penting.
Apalagi, berdasarkan survei. Indonesia berada dalam daftar 10 besar negara yang terdampak krisis iklim, selain Tiongkok di peringkat pertama, menyusul India, Bangladesh, Amerika Serikat, Filipina dan negara-negara Asia.