Jakarta, Portonews.com – Ini bukan kisah drama radio ‘Butir-butir Pasir di Laut’ yang diganjar penghargaan sebagai sandiwara radio (RRI) terbaik tingkat dunia oleh Lembaga Kependudukan Dunia di Meksiko pada tahun 1984. Ini soal ekspor pasir laut.
Ekspor pasir laut yang juga memantik (bukan) penghargaan dunia internasional tetap justru menguntungkan negara lain tetapi menihilkan keberpihakan nasib para nelayan tradisional. Penghasilan nelayan pun terganggu dan tangkapan ikan berkurang.
Pasalnya, penambangan pasir dapat merusak wilayah pemijahan ikan dan nursery ground, merusak ekosistem mangrove, dan mengganggu lahan pertambakan.
Selain itu, dapat mengubah pola arus laut yang sudah dipahami secara turun-temurun oleh masyarakat pesisir dan nelayan, hingga kerentanan terhadap bencana di perkampungan nelayan. Kerusakan daya dukung ekologi akibat pemanfaatan/penambangan pasir laut akan mengakibatkan terganggunya ekonomi nelayan dan masyarakat pesisir.
Inilah cermin perilaku rezim Pemerintahan Joko Widodo yang membawa visi Nawacita. Poin keempat dari Nawa cita; Menghadirkan Kembali Negara untuk Melindungi Segenap Bangsa dan Memberikan Rasa Aman pada Seluruh Warga. Faktanya, Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut.
Regulasi ini hakekatnya berorientasi membisniskan laut tetapi bersembunyi di balik topeng pelestarian lingkungan laut dan pesisir melalui pengelolaan hasil sedimentasi.
Pemerintah mengalihkan tanggung jawab negara dalam pemenuhan hak asasi setiap warga negara Indonesia terhadap lingkungan yang baik dan sehat, terutama di wilayah laut dan pesisir sebagaimana amanat UUD 1945 Pasal 28H Ayat (1) dan UU Nomor 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, menjadi tanggung jawab sektor swasta atau pelaku usaha.
Padahal Presiden Kelima RI Megawati Soekarno Putri pada tahun 2002 telah mengeluarkan Keputusan Presiden RI No. 33/2002 tentang Pengendalian dan Pengawasan Pengusahaan Pasir Laut. Dan ini ditujukan untuk mengendalikan dampak negatif pemanfaatan pasir laut bagi lingkungan, nelayan, dan pembudi daya ikan.
Sayangnya, demi ambisi kekuasaan yang membutakan mata hati dan nurani, Joko Widodo tidak ambil peduli. Boleh jadi, yang ada di pikirannya hanyalah mengeruk sumber daya alam kekayaan negeri demi memuaskan syahwat pribadi dan kelompoknya. Karena itu tidak heran bila BEM UI menganugerahkan Joko Widodo sebagai king of lip service.