Jakarta, Portonews.com – Perdagangan karbon kini marak dibicarakan. Kendati dalam lingkup terbatas. Tetapi cukup menyita perhatian publik. Pasalnya, bisnis ini disinyalir dapat menihilkan atau menurunkan Gas Rumah Kaca untuk meraih cita-cita Net Zero Emission (NZE). Bisnis karbon ini telah didaftarkan untuk melantai di bursa efek. Bahkan Presiden Joko Widodo yang meluncurkan Bursa Karbon Indonesia di Gedung Bursa Efek Indoensia (BEI) pada Selasa (26/9/2023).
Menurut catatan, potensi bursa karbon (IDXCarbon) di Indonesia bisa mencapai Rp3.000 triliun. Nilai tersebut hampir mendekati total APBN RI 2023 senilai Rp 3.061 triliun dan APBN 2024 mencapai Rp3.325,1 triliun. Setelah masuk BEI, pemerintah pun menerbitkan regulasinya. Tertera di Perpres Nomor 14 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Penangkapan dan Penyimpanan Karbon.
Siapa saja pelaku pedagang karbon ini? Menurut Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal, Keuangan Deviratif, dan Bursa Karbon OJK Inarno Djajadi, saat ini para pelaku dalam bursa karbon sendiri tercatat ada 16 korporasi, yang mana satu korporasi merupakan penjualnya, yaitu PT Pertamina Geothermal Energy Tbk, dan 15 perusahaan bertindak sebagai pembeli. Emiten-emiten yang saat ini sudah bergabung dengan bursa karbon bergerak di bidang transportasi, perbankan, dan energi.
Lalu, bagaimana peminat bursa karbon? Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sejak diluncurkan pada 26 September 2023 hingga 16 Februari 2024 terdapat sebanyak 48 pengguna jasa yang mendapat izin dengan volume sebesar 501.000 ton CO2 ekuivalen. Total nilai sebesar Rp31,36 miliar, dengan rincian 31,39 persen di pasar reguler, 9,69 persen di pasar negosiasi dan 58,92 persen di pasar lelang.
Jika dari prospek bisnis karbon menguntungkan, bagaimana dengan manfaatnya yang ditengarai dapat mengurangi GRK demi pencapaian NZE? Menurut Tata Mustasya, Global Campaign Strategist, Greenpeace International, perdagangan karbon yang diterapkan Pemerintah Indonesia ini sama sekali bukan solusi bagi pencapaian Net Zero Emission dan menurunkan Emisi Gas Rumah Kaca (GRK). Karena menjadi justifikasi atau pembenaran bagi pencemar atau penghasil emisi untuk terus mengeluarkan emisi karbon.
“Walaupun belum ditetapkan, harga per ton emisi secara alamiah akan jauh berada di bawah ongkos dan dampak polusi dari batu bara, diantaranya dalam bentuk krisis iklim dan dampak kesehatan,” kata Tata. Disinsentif terhadap penghasil emisi, seperti PLTU batu bara, seharusnya tidak dilakukan secara sukarela, dan tidak dilakukan melalui mekanisme pasar karbon. Mestinya, yang dilakukan pemerintah adalah menerapkan pajak karbon.
Menurut hasil riset Universitas Padjajaran diperoleh data bahwa potensi penerimaan pajak karbon dari sektor energi pada 2021-2025 adalah sekitar Rp 23 triliun. (https://www.unpad.ac.id/2024/01/pakar-unpad-pajak-karbon-bisa-digunakan-untuk-kurangi-emisi-gas-rumah-kaca/)
Oleh sebab itu, pajak karbon sejatinya ditujukan sebagai hukuman (punishment) yang diharapkan ke depannya terjadi pengurangan emisi GRK. Demikian, secara bertahap pajak karbon nilainya berkurag tetapi kualitas lingkungan makin terdongkrak.