Jakarta, Portonews.com – Kasus dugaan korupsi yang melibatkan pengelolaan minyak mentah dan produk kilang mencuat setelah Kejaksaan Agung (Kejagung) mengungkapkan adanya pengoplosan bahan bakar minyak (BBM) jenis RON 90 menjadi RON 92 oleh sejumlah pihak yang terlibat.
“BBM yang seharusnya berjenis RON 90, namun dibayar seharga RON 92, lalu dioplos atau dicampur,” ungkap Abdul Qohar, Direktur Penyidikan pada Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung, dalam konferensi pers di Gedung Kejaksaan Agung, Jakarta, Selasa (25/2).
Menurut Qohar, perbuatan curang ini terjadi antara tahun 2018 hingga 2023, ketika pemerintah mewajibkan pemenuhan minyak mentah dalam negeri dengan mengutamakan pasokan dari dalam negeri, sebagaimana tercantum dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Peraturan Menteri ESDM Nomor 42 Tahun 2018.
PT Pertamina (Persero) pun diwajibkan untuk mencari pasokan minyak bumi domestik terlebih dahulu sebelum melakukan impor. Namun, tersangka Riva Siahaan (RS), Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga, bersama tersangka Sani Dinar Saifuddin (SDS), Direktur Feedstock and Product Optimization PT Kilang Pertamina Internasional, serta tersangka Agus Purwono (AP), VP Feedstock Management PT Kilang Pertamina Internasional, diduga melakukan rekayasa untuk menurunkan produksi kilang. Akibatnya, produksi minyak bumi dalam negeri tidak dapat sepenuhnya diserap.
Pengondisian yang dilakukan ini berujung pada pengadaan pasokan minyak mentah dan produk kilang melalui impor. Ketika produksi kilang sengaja dikurangi, pasokan minyak mentah domestik oleh kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) juga sengaja ditolak dengan alasan spesifikasi yang tidak sesuai atau tidak memenuhi nilai ekonomis. Hal ini mengakibatkan bagian yang seharusnya untuk kebutuhan dalam negeri diekspor ke luar negeri.
Untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, PT Kilang Pertamina Internasional melakukan impor minyak mentah, sementara PT Pertamina Patra Niaga mengimpor produk kilang. Dalam proses pengadaan impor tersebut, ditemukan adanya pengaturan untuk memenangkan broker tertentu yang setuju membeli dengan harga tinggi (spot) meskipun tidak memenuhi persyaratan yang ada.
Qohar juga menyampaikan bahwa tersangka Dimas Werhaspati (DW), Komisaris PT Navigator Khatulistiwa dan PT Jenggala Maritim, serta tersangka Gading Ramadhan Joedo (GRJ), Komisaris PT Jenggala Maritim dan Direktur Utama PT Orbit Terminal Merak, diduga melakukan komunikasi dengan tersangka Agus untuk mendapatkan harga tinggi meskipun persyaratan belum dipenuhi, dengan persetujuan tersangka Sani untuk impor minyak mentah dan persetujuan tersangka Riva untuk impor produk kilang, seperti dilansir laman Antara.
“Kerugian negara timbul akibat impor minyak mentah melalui broker. Sementara itu, bagian KKKS yang seharusnya diprioritaskan untuk dalam negeri, dijual ke luar negeri dengan alasan harga yang tidak sesuai dengan Harga Perkiraan Sendiri (HPS),” ujar Qohar.
Dalam pengadaan produk kilang oleh PT Pertamina Patra Niaga, tersangka Riva diketahui membeli BBM jenis RON 92, padahal yang dibeli sebenarnya adalah jenis RON 90 atau yang lebih rendah. BBM tersebut kemudian dioplos di depot untuk dijadikan RON 92, meskipun tindakan ini dilarang.
Selanjutnya, ditemukan pula adanya mark up kontrak pengiriman dalam pengadaan impor minyak mentah dan produk kilang yang melibatkan tersangka Yoki Firnandi (YF), Direktur Utama PT Pertamina International Shipping. Akibatnya, negara harus membayar biaya pengiriman yang lebih tinggi, yaitu sekitar 13—15 persen secara ilegal. Tersangka Muhammad Kerry Andrianto Riza (MKAR), yang merupakan Beneficial Owner PT Navigator Khatulistiwa, dilaporkan mendapatkan keuntungan dari transaksi ini.
Ketika sebagian besar kebutuhan minyak dalam negeri dipenuhi melalui impor yang melawan hukum, harga dasar yang digunakan untuk menentukan harga indeks pasar (HIP) BBM menjadi lebih mahal. Harga yang tinggi ini menyebabkan masyarakat kesulitan membeli, sehingga pemerintah terpaksa memberikan subsidi dan kompensasi. Hal ini berujung pada pengeluaran negara yang tidak semestinya, yang menggerus anggaran negara atau APBN.
Akibat dari serangkaian perbuatan melawan hukum tersebut, kerugian negara diperkirakan mencapai sekitar Rp193,7 triliun.