
Jakarta, Portonews.com-Dalam kurun waktu dua bulan terjadi tiga kali kebakaran di wilayaah eks bandara Kemayoran tepatnya di Kelurahan Kebon Kosong RW04, RW05 dan RW06. Kebakaran pertama terjadi di wilayah RW05, kebakaran kedua di wilayah RW06 dan ketiga di wilayah RW04. Kebakaran ketiga merupakan kebakaran terbesar melalap lebih dari 500 bangunan dan 607 Kepala Keluarga (KK) terdampak, 1.797 jiwa mengungsi. Posko pengungsian didirikan di sepanjang jalan Kemayoran Gempol untuk menampung para pengunsi dan tempat menerima bantuan baik dari Dinas Sosial Pemda DKI maupun dari masyarakat/komunitas di sekitar Kemayoran.
Perumahan warga yang terbakar di wilayah RW Keluahan Kebon Kosong merupakan wilayah rencana pengembanan Hak Pengelola Lahan (HPL) PPKK di bawah naungan Kementerian Sekretaris Negara. Sejak awal tahun 90-an PPKK telah melaksanakan pembebasan lahan pengembangan HPL namun tidak tuntas sehingga wilayah pengembangan jadi bolong-bolong, lahan yang sudah dibebaskan tidak dijaga dan dibuatkan patok tanda lahan sudah dibebaskan. Kondisi ya ng sudah demikian dibiarkan berlarut-larut hingga sampai saat ini, akibatnya lahan yang sudah dibebaskan didirikan rumah tinggal lagi oleh orang yang tidak bertanggung jawab.
Lahan eks bandara Kemayoran sejak diterbitkannya Keppres No.53 Tahun 1985 menjadi aset Kementerian Sekretaris Negara yang dikelola oleh badan khusus yang bernama Pusat Pengelola Komplek Kemayoran (PPKK) yang saat ini berbadan hukum BLU (Badan Layanan Umum). PPKK dalam perjalanannya sering mendapat resistensi dengan warga, baik warga komplek Angkasa Pura yang secara legalitas sah menempati rumah dinas dan warga di areal rencana pengembangan HPL-nya.
Resistensi dengan warga rumah dinas Angkasa Pura adalah masalah ketidak adilah dalam pemberian status rumah yang sudah dibeli oleh penghuni perumahan. Ada yang sudah diberikan status rumah dengan setifikat Hak Milik (HM) dan ada yang diberikan hanya sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB). Warga yang diberikan status sertifikat HGB sudah berjuang sampai bersurat kepada Presiden namun tidak ada jawaban yang pasti. Mengacu kepada peraturan perundang-ungdangan yang berlaku, peningkatan hak dari HGB menjadi HM dimungkinkan karena warga sudah berkonsultasi via surat ke kantor BPN Pusat dan di samping itu warga berkolaborasi dengan Bagian Hukum PPKK tahun 2010 mementuk Tim Sembilan untuk membuat Telaahan Staf, yang pada kesimpulan dari Telaahan Staf bahwa peningkatan HGB menjadi HM dapat dimungkinkan.
Resistensi dengan warga yang tanahnya di atas lahan rencana pengembangn HPL PPKK lebih komplek lagi permasalahannya. Di atas lahan rencana pengembangan, status tanah warga ada yang sudah memiliki sertifikat HM, HGB dan masih ada yang berbentuk Verfonding Indonesia (VI) sehingga proses pembebasan lahan sangat komplek. Dalam perjalanan waktu memang PPKK sudah dapat membebaskan beberapa lahan warga dan tidak menyeluruh, konsekwensinya lahan yang sudah dibebaskan tidak dijaga dan dibuatkan tanda patok oleh PPKK akan didirikan rumah lagi oleh warga yang tidak bertanggung jawab. Kondisi yang demikian terus berlanjut dan dibiarkan berkembang baik oleh PPKK maupun oleh instansi Pemda DKI Jakarta dengan kata lain sepertinya ada pembiaran.
Pembiaran yang terus berlangsung sampai saat ini di wilayah rencana pengembangan HPL PPKK, menjadi tidak sehat dan menjadi wilayah kumuh yang mudah sekali terbakar dan tidak tertutup kemungkinan akan terjadi lagi musibah kebakaran di wilayah yang sudah kumuh tersebut.