Jakarta, Portonews.com-Masih ingat peristiwa semburan minyak dan gas di Montara Wellhead Platform pada 21 Agustus 2009 lalu? Peristiwa ini mengakibatkan tumpahan minyak dan gas ke Laut Timor. Tumpahan tersebut berlangsung selama 74 hari hingga sumur bantuan dibor dan sumur tersebut dapat ditutup.
Operator rig (PTTEP Australasia) awalnya memperkirakan bahwa 64 ton minyak mentah per hari (400 barel) hilang tetapi tidak ada perkiraan akurat yang pernah dibuat mengenai tumpahan tersebut.
Tumpahan minyak tersebut menyebabkan kerusakan pada perairan dan garis pantai Indonesia dan Timor Timur. Pada bulan November 2009, Pemerintah Australia membentuk Komisi Penyelidikan Montara. Laporan Komisi tersebut diserahkan kepada Menteri Sumber Daya dan Energi pada bulan Juni 2010, yang belum merilisnya secara publik.
Di sisi lain, akibat kasus tumpahan minyak ini, secara langsung memengaruhi kehidupan laut melalui toksisitas minyak telah mencemari biota laut di sekitarnya. Bahkan, bahan kimia yang digunakan untuk menyebarkan minyak dan meningkatkan laju kerusakan turut menjadi racun bagi kehidupan laut.

Ada dampak jangka panjang dari tumpahan minyak dan dampak tersebut perlu dinilai. Pemerintah Australia dan PTTEP Australasia, sebagai tanggapan atas tumpahan minyak Montara, telah menyetujui rencana pemantauan selama dua hingga sepuluh tahun yang mencakup studi ilmiah untuk memberikan informasi tentang kehidupan laut, satwa liar dan habitatnya, kualitas air, dan ekologi garis pantai.
Dampak dari kasus Montara ini tidak hanya biota laut, melainkan masyarakat sekitar dimana kebanyakan dari mereka adalah para nelayan juga terkena imbas dari kejadian tersebut.
Seperti dilansir dari laman parlemen Australia, aph.gov.au, berdasarkan Konvensi Tanggung Jawab Sipil, pemilik kapal tanker diharuskan memiliki asuransi untuk menanggung kerusakan akibat polusi hingga maksimum 170 juta dolar.
Jika kerusakan melebihi batas ini, Konvensi tentang Pembentukan Dana Internasional untuk Kompensasi Pencemaran Minyak memberikan kompensasi tambahan hingga 1,2 miliar dolar. Bagi kapal non-tanker, Konvensi Bunker menetapkan kewajiban berdasarkan ukuran kapal, jadi kapal seberat 30.000 ton akan dikenakan biaya sebesar 23 juta dolar.
Sebagai bagian dari proses perizinan/persetujuan, operator Montara dan sumur minyak lepas pantai lainnya diharuskan untuk menyediakan asuransi yang memadai untuk menanggung biaya pembersihan atau dampak pemulihan lainnya dari tumpahan minyak, tetapi tidak untuk kompensasi atas kerusakan lingkungan.
Pada bulan Juli 2010, Presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono mengatakan bahwa ia akan meminta kompensasi dari PTTEP Australasia untuk petani rumput laut dan nelayan yang mata pencahariannya terkena dampak tumpahan minyak Montara, dimana jumlahnya mungkin lebih dari 2 miliar dolar. Presiden Timor Leste Ramos-Horta juga meminta kompensasi dari perusahaan dan Pemerintah Australia atas kerusakan lingkungan laut di Timor Leste.
Tampaknya diperlukan sistem regulasi yang lebih luas untuk kompensasi kerusakan polusi yang mencakup eksplorasi dan produksi minyak lepas pantai yang serupa dengan Konvensi yang mencakup pengiriman.
Di sisi lain, pada 2023, Pengadilan Federal Australia memutuskan bahwa PTTEP Australasia harus membayar ganti rugi sebesar 192,5 juta dolar Australia (sekitar Rp2,02 triliun) kepada 15.483 petani rumput laut di Nusa Tenggara Timur (NTT) yang terdampak oleh tumpahan minyak Montara pada tahun 2009.
Dari total dana tersebut, setelah dikurangi biaya litigasi dan honorarium pengacara, sekitar 53 persen atau sekitar Rp1,07 triliun dialokasikan untuk para petani namun, dalam proses distribusi dana ganti rugi, ditemukan ketidaksesuaian dalam penetapan harga rumput laut per kilogram antar desa.isalnya, di Desa Daiama, harga rumput laut ditetapkan sebesar Rp11.300 per kilogram, sementara di desa lain seperti Tesabela dan Matasio, harganya mencapai Rp37.000 dan Rp33.000 per kilogram.
Perbedaan ini menimbulkan protes dari para petani yang merasa pembagian dana tidak adil. Mereka menuntut transparansi dan keadilan dalam proses distribusi ganti rugi tersebut. Hingga Juli 2024, pembayaran tahap kedua sebesar 25 persen dari total kompensasi mengalami penundaan.
Pengacara Greg Phelps dari Maurice Blackburn Lawyers menyatakan bahwa pembayaran tahap kedua kemungkinan baru akan dilakukan pada September atau Oktober 2024. Selain itu, beberapa petani mempertanyakan potongan sebesar 17 persen (sekitar Rp420 miliar) yang diberikan kepada kantor pengacara Maurice Blackburn dari total dana kompensasi. Mereka menuntut penjelasan lebih lanjut mengenai potongan tersebut.
Secara keseluruhan, meskipun telah ada keputusan pengadilan mengenai ganti rugi, proses distribusi dana kepada para petani rumput laut di NTT masih menghadapi berbagai kendala dan memerlukan perhatian lebih lanjut untuk memastikan keadilan bagi semua pihak yang terdampak.
Pada masa pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, perhatian terhadap kasus pencemaran minyak di perairan Indonesia menjadi salah satu fokus utama. Salah satu kasus yang menonjol adalah Tragedi Montara yang terjadi pada tahun 2009, di mana tumpahan minyak dari anjungan Montara di Laut Timor menyebabkan kerusakan lingkungan yang signifikan dan berdampak pada mata pencaharian masyarakat pesisir di Nusa Tenggara Timur (NTT).
Hingga kini, kasus ini belum sepenuhnya terselesaikan, dan masyarakat terdampak masih menantikan kompensasi serta pemulihan lingkungan. Yayasan Peduli Timor Barat (YPTB) telah mendesak Presiden Prabowo untuk membentuk badan khusus guna menyelesaikan kasus ini secara tuntas.
Selain kasus Montara, tumpahan minyak besar juga terjadi di Balikpapan. Tumpahan minyak mentah terjadi pada Sabtu, 31 Maret 2018 pukul 01.20 WITA akibat patahnya pipa penyalur dasar laut yang mengalirkan minyak mentah dari Single Point mooring (SPM) Terminal Lawe-Lawe menuju CDU IV Pertamina RU V Balikpapan. Berdasarkan data side sonar Pertamina RU V Balikpapan, patahnya pipa diduga akibat benturan jangkar kapal atau lainnya.

Sebanyak kurang lebih 40 ribu barrel crude oil tumpah ke laut hingga mengakibatkan pencemaran di sepanjang pantai Teluk Balikpapan dan mengakibatkan matinya berbagai spesies ikan dan satwa lain.
Ditambah lagi, pada saat terjadi ledakan, satu orang kru di bagian belakang dek terbakar di sebagian tubuhnya, serta terdapat dua perahu nelayan yang sedang memancing dan diduga terjebak dekat kobaran api mengakibatkan lima orang meninggal dunia.
Dalam rilis resminya, saat itu, Pertamina turut memberikan bantuan bagi korban terdampak di Teluk Balikpapan dengan melakukan program CSR. Bagi kelima korban meninggal, empat di antaranya telah diberikan santunan sebesar Rp 200 juta.
Selain kelima korban, Pertamina juga telah melakukan pemberian kompensasi dan penggantian kepada nelayan terdampak, seperti jaring, bubu, rengge yang terkena minyak, kapal nelayan terbakar, kompensasi kapal nelayan yang tidak bisa melaut selama tiga hari, nelayan tidak melaut, keramba rusak, serta penggantian bibit kepiting 800 kg.
Setahun setelah peristiwa tumpahan minyak di Teluk Balikpapan, tepatnya pada 12 Juli 2019 muncul gelembung gas saat pengeboran sumur YYA-1 di Blok Offshore North West Java (ONWJ) milik PT Pertamina Hulu Energi Offshore North West Java (PHE ONWJ).
Tumpahan minyak di Blok Offshore North West Java (ONWJ) Pertamina pernah mencapai 51 ribu barel per hari pada tahun 2019. Selain itu, pernah juga terjadi tumpahan minyak di ONWJ pada tahun 2021, yaitu, tumpahan minyak di sekitar area BZZA pada 15 April 2021, dengan perkiraan kehilangan produksi sekitar 6.000 barel per hari dan tumpahan minyak di perairan Karawang pada 21 April 2021, dengan jumlah tumpahan setidaknya 8 barel.
Tumpahan minyak berdampak sangat buruk bagi ekosistem laut dan pesisir. Kerugian ekonomi yang ditimbulkan pencemaran ini tentu sangat banyak, mulai dari nelayan tidak dapat melaut sampai dengan kerusakan lingkungan.
Dampak bagi ekosistem adalah berbagai kerusakan pada ekosistem bakau, terumbu karang, jenis-jenis biota laut, terjadi abrasi, hilangnya benih. Merkuri juga dapat memberikan efek domino dalam pencemarannya, di mana biota yang terpapar oleh merkuri akan mengakumulasi merkuri dalam tubuhnya dan jika manusia mengonsumsi biota yang mengandung merkuri manusia juga akan terkena paparan dari merkuri tersebut.

Penanganan tumpahan minyak di Indonesia bagi lingkungan dan masyarakat sekitar sudah mulai dilakukan di Indonesia namun penanganan bagi satwa-satwa terdampak sampai saat ini belum kita ketahui telah dilaksanakan dengan baik atau belum.
Dampak bencana ini bagi satwa-satwa dilokasi terdampak terkadang menjadi hal yang kurang diperhatikan karena memang memiliki tingkat kesulitan yang cukup tinggi sehingga membutuhkan spesialisasi khusus.
Akan tetapi, jika tidak ditangani dengan baik, satwa terdampak ini dapat menjadi awal efek domino bagi ekosistem yang lebih besar. Selain itu dampak langsung dapat terjadi bagi satwa jika terkena minyak, mulai dari gangguan pergerakan sampai dengan kematian. Jika tidak ditangani dengan benar, dampak jangka panjang dapat menyebabkan kepunahan bagi satwa- satwa tertentu.
Hal paling utama harus dilakukan pada saat terjadinya tumpahan minyak adalah menetapkan garis lintang dan garis bujur titik lokasi, lalu memasukan data tersebut ke dalam program trajectory modelling. Melalui trajectory modelling kita dapat mendapatkan manfaat dalam upaya penanggulangan tumpahan minyak, yaitu:
- Waktu untuk mempersiapkan penanggulangan tumpahan minyak.
- Prediksi berapa lama minyak akan sampai di wilayah pantai.
- Prediksi luas penyebaran tumpahan minyak di laut dan pantai.
- Menentukan jumlah dan jenis Peralatan Penanggulangan Tumpahan Minyak yang dibutuhkan. Misalnya, panjang oil boomyang dibutuhkan dan jumlah skimmer yang diperlukan. Oil boommerupakan salah satu peralatan penanggulangan tumpahan minyak yang digunakan untuk melokalisir tumpahan minyak, dan oil skimmer adalah alat untuk menyedot minyak dari permukaan air yang sudah dilokalisir oleh oil boom.
Setiap unit kegiatan pengusahaan minyak dan kegiatan kepelabuhanan harus memiliki manajemen risiko atau di dalam dunia oil spill lebih dikenal dengan istilah Oil Spill Contingency Plan (OSCP). OSCP merupakan panduan perencanaan penanggulangan tumpahan minyak, yang di dalamnya memuat perkiraan pergerakan tumpahan minyak, metode dan teknik penanggulangan, perhitungan kebutuhan personil, serta jumlah yang benar dari peralatan penanggulangan tumpahan minyak, serta trajectory modelling.
OSCP sudah sesuai dengan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 58 Tahun 2013 Tentang Penanggulangan Pencemaran di Perairan dan Pelabuhan, pada pasal 22 ayat (1) yang menyatakan, “Persyaratan penanggulangan pencemaran di unit kegiatan dan kegiatan pelabuhan dilakukan berdasarkan penilaian (assessment)”.
Selanjutnya dijelaskan lebih terperinci di dalam ayat (2) yang menyebutkan, “Penilaian sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk mengidentifikasi dan mengkaji antara lain:
- Potensi pencemaran yang dapat terjadi di area unit kegiatan lain atau pelabuhan;
- Kepekaan lingkungan;
- Kondisi arus dan angin di daerah unit kegiatan lain atau pelabuhan; dan
- Perkiraan pergerakan tumpahan minyak dan bahan lainnya”.
Serta ayat (3) juga menjelaskan tentang hasil penilaian, Hasil penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi:
- Hasil kajian potensi pencemaran di unit kegiatan lain atau pelabuhan;
- Peta kepekaan lingkungan;
- Perkiraan pergerakan tumpahan minyak;
- Metode dan teknik penanggulangan pencemaran;
- Perhitungan ketersediaan peralatan dan bahan;
- Perhitungan ketersediaan personil; dan
- Laporan akhir penilaian.
Menanggulangi Tumpahan Minyak
Dalam penanggulangan tumpahan minyak hanya ada dua metode yang digunakan, yaitu metode mechanical dan metode chemical. Metode mechanical menggunakan peralatan penanggulangan tumpahan minyak, seperti alat untuk melokalisir tumpahan itu (oil boom), alat untuk menyedot minyak yang sudah dilokalisir (oil skimmer), dan alat-alat lainnya.
Kedua metode ini digunakan dalam penanganan tumpahan minyak di Balikpapan. Metode selanjutnya adalah metode chemical, dengan menyemprotkan dispersant di atas tumpahan minyak yang mengapung di permukaan air. Metode chemical ini membahayakan biota laut di sekitar pantai. Untuk menerapkan metode chemical ini. International Maritime Organization (IMO) memiliki pedoman mengenai penggunaan dispersan, yang salah satunya adalah ketentuan tentang kedalaman perairan yang harus lebih dari 10 meter.
Peraturan tentang penggunaan dispersan ini sangat ketat, karena mengandung bahan dasar surfaktan. Surfaktan adalah senyawa kimia berbahaya, termasuk dalam kategori bahan berbahaya beracun (B3). Artinya, dispersan adalah bahan kimia beracun. Atas dasar itu beberapa negara, seperti Yunani, Jepang, Norwegia, dan sejumlah negara lainnya sangat memperketat penggunaan dispersan dalam penanggulangan tumpahan minyak.

Dalam OSCP juga jelas disebutkan, di zona-zona mana saja dispersan tidak boleh disemprotkan, yaitu zona pantai, rawa, hutan bakau, zona perairan dengan kedalaman kurang dari 10 meter, serta zona-zona sensitif lainnya yang akan rusak jika terkena dispersan. Di area-area tersebut dispersant jenis apapun tidak boleh digunakan.
Umumnya dispersan dijual dalam dua jenis, yaitu jenis yang menggunakan bahan dasar air dan bahan dasar minyak. Ada pendapat bahwa dispersan yang menggunakan bahan dasar air tidak berbahaya dan ramah lingkungan. Sebenarnya dispersan yang mengunakan bahan dasar air pun tetap berbahaya dan tidak ramah lingkungan.
Karena pada dasarnya, unsur utama pada dispersant, baik yang berbahan dasar air atau minyak, adalah surfaktan. Sehingga, seharusnya pemerintah menerapkan ketentuan yang lebih ketat mengenai penggunaannya dalam penanggulangan tumpahan minyak atau melarang penggunaannya dalam penanggulangan tumpahan minyak, dengan pertimbangan Indonesia adalah salah satu negara pengekspor ikan terbesar di dunia.
Seperti diketahui, bahwa peralatan penanggulangan tumpahan minyak memang mahal, dan pengoperasian peralatannya juga tidak mudah. Selain itu, responder yang mengoperasikan peralatan tumpahan minyak harus profesional dan memiliki sertifikasi IMO level 1, 2, dan 3. Jadi tidak sembarangan orang mengoperasikannya. Responder adalah orang-orang yang memiliki kualifikasi dalam mengoperasikan peralatan penanggulangan tumpahan minyak.
Untuk responder yang bersertifikasi IMO Level 1 harus bisa mengoperasikan peralatan tumpahan minyak dari berbagai jenis dan merek yang mempunyai cara kerja yang berbeda beda. Responder bersertifikat IMO Level 2 adalah ahli yang bisa menulis dan menyusun OSCP atau panduan perencanaan penanggulangan tumpahan minyak.
Sedangkan responder dengan sertifikasi IMO 3 lebih ditekankan bagaimana menghitung klaim biaya penanggulangan tumpahan minyak dan bagaimana menghadapi media pada saat dan sesudah peristiwa tumpahan minyak.
Bahkan sertifikat IMO Level 1, 2, dan 3 yang dikeluarkan oleh lembaga atau perusahaan penyelenggara training juga harus disetujui oleh Direktorat Jenderal Hubungan Laut Kementerian Perhubungan, sebagaimana disebutkan dalam PM 58/2013, pasal 7, ayat (7), “Kompetensi personil sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibuktikan dengan sertifikat keterampilan yang dikeluarkan oleh lembaga/atau badan pelatihan yang telah disetujui oleh Direktur Jenderal”.
Di Indonesia saat ini sudah ada beberapa perusahaan atau lembaga yang mencetak orang-orang qualified dalam penanggulangan tumpahan minyak, bahkan juga memberikan akreditasi bertaraf internasional dari The Nautical Institute, London.
Perusahaan minyak dunia pada umumnya menyerahkan kewajibannya dalam hal penanggulangan tumpahan minyak kepada pihak ketiga. Di Indonesia, telah disebutkan dalam PM 58/2013 Bab IV pasal 8 ayat (2), PM 58/2013 Bab V pasal 15 ayat (1), dan PM 58/2013 Bab VII pasal 22 ayat (5), bahwa baik alat, personil, dan juga penilaian (assessment) dapat disediakan oleh perusahaan yang bergerak di bidang penanggulangan pencemaran yang berbadan hukum Indonesia yang telah ditetapkan oleh Direktur Jenderal Perhubungan Laut, Kementerian Perhubungan.
Sementara di luar negeri pada umumnya, hampir semua perusahaan minyak menyerahkan urusan penanggulangan tumpahan minyak ini kepada perusahaan yang memang ahli dan kompeten, sehingga mereka bisa konsentrasi dalam bisnis mereka. Salah satu perusahaan ahli penanggulangan tumpahan minyak adalah Oil Spill Combat Team (OSCT) Indonesia.
Dalam kasus tumpahan minyak di Teluk Balikpapan, OSCT Indonesia melakukan operasi kontainmen dan pemulihan setiap harinya selama 24 jam terus-menerus, diselesaikan kurang dari dua minggu dengan lebih dari 1000 personel dari perusahaan di kawasan dan pemangku kepentingan pemerintah dan 60 responden OSCT.
Sedangkan saat terjadi kasus tumpahan minyak PHE ONWJ pada 2019 silam, Pertamina bersama OSCT Indonesia bahu-membahu menanggulangi pencemaran minyak dengan menggunakan 4.200 meter static oil boom di layer pertama dan 400 meter static oil boom di layer kedua untuk mengejar minyak yang lolos IMT juga memasang moveable oil boom 700 meter.
Di masa pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, terbentuk Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (BPLH) yang telah disahkan melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 183 Tahun 2024 tentang Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (BPLH) pada Selasa, 5 November 2024. Badan ini dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 140 Tahun 2024 tentang Organisasi Kementerian Negara, regulasi yang memecah dua struktur Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
BPLH adalah lembaga pemerintah non kementerian yang menyelenggarakan tugas pemerintahan di bidang pengendalian lingkungan hidup dan bertanggungjawab langsung kepada Presiden.
Sementara itu, terkait dengan pencemaran lingkungan, BPLH memiliki beberapa fungsi, diantaranya perumusan dan penetapan kebijakan teknis di bidang penataan lingkungan hidup dan sumber daya alam berkelanjutan, pengendalian pencemaran dan kerusakan lingkungan, pengelolaan sampah, bahan berbahaya dan beracun, dan limbah bahan berbahaya dan beracun, pengendalian perubahan iklim, penyelenggaraan tata kelola nilai ekonomi karbon, serta penegakan hukum bidang lingkungan hidup.
Fungsi lainnya adalah pelaksanaan kebijakan teknis di bidang penataan lingkungan hidup dan sumber daya alam berkelanjutan, pengendalian pencemaran dan kerusakan lingkungan, pengelolaan sampah, bahan berbahaya dan beracun, dan limbah bahan berbahaya dan beracun, pengendalian perubahan iklim, penyelenggaraan tata kelola nilai ekonomi karbon, serta penegakkan hukum bidang lingkungan hidup.
Dengan langkah-langkah yang lebih sistematis dan koordinatif, diharapkan dampak lingkungan akibat insiden tumpahan minyak dapat diminimalkan, sekaligus menjaga kelestarian ekosistem laut Indonesia. Keberhasilan dalam penanggulangan tumpahan minyak tidak hanya bergantung pada regulasi dan teknologi, tetapi juga pada kesadaran semua pihak untuk menjaga kelestarian laut bagi generasi mendatang.