Jakarta, Portonews.com – Praktik mafia migas yang merugikan negara dan masyarakat terus menjadi masalah serius dalam pengelolaan sumber daya energi di Indonesia. Salah satu faktor utama yang memperburuk situasi ini adalah kurangnya pemahaman masyarakat mengenai cara mafia migas beroperasi. Hal ini membuat peran aktif masyarakat dalam mengedukasi sesama warga menjadi krusial, agar mereka dapat lebih waspada dan tidak mudah dimanipulasi. Kasus dugaan korupsi di PT Pertamina Patra Niaga menjadi pengingat bahwa tanpa keterlibatan publik, praktik mafia migas akan terus berlanjut dan memberikan dampak buruk bagi negara dan rakyat.
Kasus ini kembali mengungkap bagaimana mafia migas bekerja secara terorganisir dan merugikan keuangan negara. Dugaan korupsi yang melibatkan PT Pertamina Patra Niaga berlangsung secara sistematis, tidak hanya sebatas pengoplosan bahan bakar minyak (BBM), tetapi juga mencakup skema yang lebih besar yang direncanakan dengan sangat matang.
Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yuris Rezha Darmawan, menyatakan bahwa jika fakta-fakta yang disampaikan kejaksaan dalam persidangan terbukti, modus korupsi ini memang sangat terencana. Yuris menjelaskan bahwa korupsi dimulai dengan pengaturan agar produksi minyak mentah dalam negeri menurun, yang kemudian digunakan sebagai alasan untuk mengimpor minyak mentah. “Modus seperti ini sebetulnya bukan yang pertama kali. Bahkan, di kasus-kasus korupsi impor lainnya, modus korupsi terencana selalu dimulai dengan pengaturan jumlah produk, sehingga pemerintah memiliki alasan untuk melakukan impor,” ungkapnya, seperti dilansir laman resmi ugm.ac.id.
Yuris menambahkan bahwa proses impor ini kemudian dimanfaatkan sebagai lahan korupsi, dengan pengaturan perusahaan pemenang tender impor dan penambahan harga atau mark-up. Dalam hal ini, PT Pertamina Patra Niaga jelas tidak hanya merugikan konsumen BBM, tetapi juga menyebabkan kerugian besar bagi negara.
Kasus ini juga menunjukkan lemahnya pengawasan dari pemerintah dan DPR terkait tata kelola migas, khususnya dalam kebijakan impor. Terlebih lagi, kasus ini berlangsung dalam kurun waktu yang cukup lama, yaitu antara 2018 hingga 2023. “Penegakan hukum harus lebih agresif dalam memberantas praktik mafia migas, tidak hanya dengan menindak pelaku, tetapi juga dengan memperbaiki sistem pengawasan yang lebih ketat di sektor migas,” tegas Yuris.
Selain itu, Yuris mengungkapkan pentingnya negara memberikan kompensasi kepada masyarakat yang terdampak langsung oleh kasus korupsi ini. Ia mengkritik kebijakan yang tidak pernah memberikan mekanisme yang jelas bagi masyarakat untuk mengajukan gugatan. Meskipun terdapat peluang untuk menggugat melalui class action, akses hukum bagi masyarakat masih sangat terbatas dan sering kali ditolak oleh pengadilan. “Ini perlu menjadi perhatian bagi pemerintah, bahwa masyarakat yang terdampak langsung oleh korupsi masih belum mendapatkan akses keadilan,” tambahnya.
Untuk itu, Yuris juga menyoroti langkah-langkah yang bisa diambil oleh masyarakat dalam pemberantasan mafia migas. Salah satunya adalah dengan memperkuat sistem pengawasan yang melibatkan masyarakat, media, dan organisasi masyarakat sipil. Dengan demikian, celah-celah yang dimanfaatkan oleh mafia migas dapat tertutup. Yuris menyarankan agar masyarakat mengawasi distribusi BBM dan melaporkan penyimpangan melalui aplikasi MyPertamina dan Lapor.go.id. Masyarakat juga dapat mendorong transparansi dalam distribusi dan alokasi energi melalui media dan media sosial, yang dapat menjadi alat yang efektif untuk mengangkat masalah ini melalui petisi atau kampanye digital.
Kasus ini mengingatkan kita bahwa pemberantasan mafia migas memerlukan kolaborasi antara pemerintah, masyarakat, dan sektor lainnya untuk menanggulangi praktik merugikan yang telah berlangsung lama ini.