Jakarta, Portonews.com – Pemerintah Nigeria tengah melakukan pembicaraan dengan masyarakat lokal untuk memulai kembali produksi minyak di wilayah yang sebelumnya mengalami kerusakan lingkungan, setelah raksasa minyak Shell menjual bisnis daratnya di negara tersebut.
Pekan lalu, penjualan bisnis darat Shell senilai $2,4 miliar kepada sekelompok perusahaan lokal dikonfirmasi oleh penasihat khusus presiden bidang energi Nigeria, Olu Verheijen. Ini menandai berakhirnya hampir satu abad operasi Shell di wilayah pesisir Delta Niger, yang selama ini menghadapi banyak keluhan terkait pencemaran lingkungan.
Kini, potensi dimulainya kembali produksi minyak di Ogoniland, sebuah kawasan di Nigeria selatan yang sempat dihentikan oleh Shell pada 1993 setelah protes keras mengenai kerusakan lingkungan dan pelanggaran hak asasi manusia, mulai dipertimbangkan. Pejabat pemerintah menganggap ini sebagai cara potensial untuk meningkatkan pendapatan devisa negara. Ledum Mitee, seorang aktivis lingkungan veteran dan mantan presiden Gerakan untuk Kelangsungan Hidup Rakyat Ogoni, mengatakan bahwa “konsensus luas di Ogoni mendukung dimulainya kembali produksi.”
Sejumlah perusahaan minyak Barat, termasuk ExxonMobil, Eni, Equinor, TotalEnergies, dan kini Shell, telah mundur dari Nigeria. Banyak dari mereka beralih ke wilayah lepas pantai dan mengurangi eksposur di Delta Niger, daerah yang selama ini dilanda tumpahan minyak yang mencemari sungai, lahan pertanian, dan memperburuk ketegangan yang telah berlangsung lama dengan kelompok militan.
Penjualan Shell sempat tertunda setelah protes dari masyarakat dan kelompok aktivis, termasuk Amnesty International dan Pusat Penelitian Perusahaan Multinasional (SOMO) dari Belanda. Mereka menuntut agar Shell melakukan pembersihan kerusakan lingkungan terlebih dahulu. Namun, ketentuan perjanjian terkait pembersihan lingkungan akibat kerusakan yang ditimbulkan oleh Shell belum dipublikasikan. Isaac Botti dari Social Action, kelompok yang mengorganisir protes terhadap penjualan Shell, menyatakan bahwa organisasinya telah meminta detail perjanjian antara Komisi Regulasi Perminyakan Hulu Nigeria, Shell, dan pemilik baru Renaissance Africa Energy Company, namun hingga kini regulator belum memberikan komentar.
Sebelumnya, Shell mengatakan kepada Associated Press bahwa transaksi ini dirancang untuk memastikan peran perusahaan dalam “melakukan remediasi apa pun sebagai operator perusahaan patungan jika ada tumpahan yang mungkin terjadi di masa lalu.”
Studi ilmiah mengungkapkan adanya senyawa kimia berbahaya, serta logam berat, yang terkontaminasi di wilayah delta. Wilayah yang menjadi pusat perekonomian Nigeria ini, akibat industri minyak, juga menyebabkan pencemaran sumber air masyarakat. Program Lingkungan PBB sempat merekomendasikan kegiatan pembersihan di Ogoniland, yang sebagian besar dibiayai oleh Shell. Namun, menurut dokumen PBB, pelaksanaan pembersihan tersebut mengalami banyak kendala.
Aktivis lingkungan menekankan pentingnya dialog lebih lanjut sebelum produksi minyak dilanjutkan di wilayah tersebut. “Saya pikir presiden telah melakukan tindakan yang benar dengan tidak memaksakan solusi tetapi bersikeras melakukan konsultasi mengenai syarat dan ketentuan lokal untuk melanjutkan produksi,” ujar Ledum Mitee.
Dengan perhatian yang besar terhadap kerusakan lingkungan, pembicaraan antara pemerintah dan masyarakat setempat akan menjadi kunci dalam kelanjutan industri minyak di Nigeria.
Sumber : kxan.com