Jakarta, Portonews.com – Pada 8 Januari 2025, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menjadi tempat digelarnya sidang lanjutan kasus dugaan korupsi dalam distribusi minyak goreng yang melibatkan PT Wilmar Group dan empat perusahaan lainnya. Sidang ini dipimpin oleh Ketua Majelis Hakim Juyamto, dengan hakim anggota Agam Syarif dan Ali Muntaro. Jaksa Penuntut Umum (JPU), Tumpal dan Irwan, fokus menggali dugaan pelanggaran terkait distribusi minyak goreng serta implementasi Domestic Market Obligation (DMO).
Dalam sidang tersebut, JPU mempersoalkan dokumen Purchase Order (PO) dan Delivery Order (DO) yang diajukan oleh terdakwa. JPU menyoroti kurangnya tanda tangan penerima pada dokumen DO, yang dinilai sebagai indikasi kurangnya transparansi. “Bagaimana kita memastikan barang tersebut sampai ke SATP jika tidak ada tanda terima? Apakah ini cara perusahaan menghindari kewajiban?” tanya JPU dengan tegas.
Terdakwa sebelumnya menyatakan bahwa dokumen tersebut tidak memerlukan tanda tangan karena sistem perusahaan berbasis otomatis. “Sistem kami tidak memungkinkan cetak DO tanpa nomor yang valid di timbangan. Ini by system, Pak,” ujar terdakwa. Namun, JPU menilai alasan ini tidak cukup untuk menjamin keabsahan dokumen. “Sistem otomatis saja tidak bisa menjadi dasar tanpa bukti manual,” tegas JPU.
JPU juga menggali lebih dalam tentang kewajiban distribusi minyak goreng hingga tingkat pengecer, yang menjadi bagian dari DMO. Terdakwa menyebut perusahaan hanya bertanggung jawab hingga tingkat distributor satu (D1), namun JPU mempertanyakan apakah barang benar-benar sampai ke masyarakat. “Anda hanya menyebut barang sampai ke D1, tapi bagaimana dengan pengecer? Apakah ada upaya untuk menghindari kewajiban?” tanya JPU lagi.
Selain itu, terdakwa mengungkapkan bahwa PT Wilmar menghadapi hambatan operasional akibat pemblokiran perusahaan dan penyitaan 600 hektar hak guna bangunan (HGB). Namun, JPU menegaskan bahwa hambatan ini tidak relevan dengan dugaan pelanggaran yang sedang diusut. “Hambatan operasional tidak dapat dijadikan alasan untuk menutupi dugaan korupsi dalam distribusi minyak goreng,” ujar JPU.
Dalam kesaksiannya, terdakwa menjelaskan bahwa bahan baku untuk produksi diperoleh dari Kalimantan Timur, Bangka Belitung, dan Jambi. Ia juga menyebutkan bahwa ekspor telah dijadwalkan dua bulan sebelum pengiriman. Namun, JPU kembali menyoroti ketidakseimbangan antara kenaikan harga bahan baku dan harga jual produk jadi yang disebut terdakwa merugikan perusahaan. “Jika memang rugi, mengapa distribusi tetap berjalan tanpa adanya laporan atau penyesuaian?” ujar JPU.
Sidang berikutnya dijadwalkan pada 13 Januari 2025, dengan agenda mendengarkan keterangan dari Musim Mas dan PHG. Kasus ini menjadi sorotan publik karena menyangkut tata kelola distribusi minyak goreng di Indonesia. (*)