Jakarta, Portonews.com – Tanpa disadari, mikroplastik telah menyusup ke dalam tubuh manusia, bukan hanya mencemari lingkungan tetapi juga mengancam kesehatan, terutama fungsi kognitif otak. Kurangnya standar pengujian mikroplastik dalam pangan dan lingkungan membuat tingkat kontaminasi semakin meningkat.
Laporan Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) bertajuk Policy Scenarios for Eliminating Plastic Pollution by 2040 mengungkapkan adanya lonjakan volume sampah plastik secara global, meningkat dua kali lipat dari 213 juta ton pada tahun 2000 menjadi 460 juta ton pada 2019.
Di Indonesia, masalah sampah plastik juga menjadi tantangan besar. Data dari Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menunjukkan bahwa pada 2023, total produksi sampah mencapai 41,07 juta ton. Dari jumlah tersebut, sekitar 7,86 juta ton atau hampir 20 persen merupakan sampah plastik. Meskipun sebagian sampah dikelola, sebagian besar masih berakhir di tempat pembuangan akhir atau mencemari lingkungan, termasuk lautan.
“Produksi sampah plastik yang terus meningkat tanpa diiringi pengelolaan yang optimal telah menyebabkan pencemaran mikroplastik di berbagai aspek lingkungan seperti air, tanah, udara, serta produk konsumsi seperti ikan, daging, dan garam. Hal ini semakin meningkatkan kekhawatiran akan risiko kontaminasi mikroplastik pada manusia,” ujar Afifah Rahmi Andini, Peneliti Plastik Greenpeace Indonesia.
Untuk meneliti dampak mikroplastik dalam tubuh manusia, Greenpeace Indonesia bekerja sama dengan Universitas Indonesia dalam studi kolaboratif yang menyoroti kaitannya dengan kesehatan, khususnya penurunan fungsi kognitif. Studi ini diawali dengan survei terhadap 562 responden di Jakarta, Bogor, Depok, dan Tangerang guna mengidentifikasi kelompok masyarakat yang rentan terhadap paparan mikroplastik serta pola konsumsi plastik mereka.
Pada tahap berikutnya, penelitian dilakukan dengan menganalisis kadar mikroplastik dalam urin, darah, dan feses partisipan terpilih guna mengkaji hubungan antara tingkat mikroplastik dalam tubuh dengan fungsi kognitif mereka. Studi yang berlangsung dari Januari 2023 hingga Desember 2024 ini menemukan mikroplastik pada 95 persen sampel dari 67 partisipan, dengan kadar dalam darah berkisar antara 0 hingga 7,35 partikel per gram (p/g), dalam urin 0 hingga 0,33 partikel per mililiter (p/mL), serta dalam feses 0 hingga 44,35 partikel per gram (p/gr).
Jenis mikroplastik yang paling banyak ditemukan dalam tubuh partisipan adalah Polyethylene Terephthalate (PET), dengan total 204 partikel terdeteksi. PET berasal dari penggunaan kemasan plastik sekali pakai seperti botol minuman, kemasan makanan siap saji, botol produk perawatan tubuh, serta serat pakaian dan karpet. Partikel mikroplastik yang berukuran kurang dari 5 milimeter ini dapat dengan mudah masuk ke dalam tubuh manusia melalui rantai makanan, pengolahan limbah yang tidak sempurna, atau konsumsi makanan laut yang telah terkontaminasi.
Ahli Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) dr. Pukovisa Prawirohardjo, Sp.S(K)., Ph.D., mengungkapkan bahwa hasil studi yang tengah dalam tahap peer review ini menunjukkan bahwa partisipan dengan tingkat konsumsi plastik sekali pakai yang tinggi berisiko mengalami penurunan fungsi kognitif hingga 36 kali lipat.
“Kami menemukan hubungan yang berarti antara fungsi kognitif dengan paparan mikroplastik. Gangguan fungsi kognitif yang dialami partisipan penelitian mencakup kemampuan berpikir, mengingat, dan mengambil keputusan,” jelasnya. Fungsi kognitif partisipan diuji menggunakan Montreal Cognitive Assessment Indonesia (MoCA-Ina) dan dilakukan bersama tim dokter dari Divisi Neurobehavior Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (FKUI-RSCM).
Untuk menekan tingkat kontaminasi mikroplastik dan dampaknya terhadap kesehatan, Juru Kampanye Plastik Greenpeace Indonesia, Ibar F. Akbar, menekankan perlunya tindakan konkret dari pemerintah dan produsen.
“Pemerintah harus memperbaiki sistem pengelolaan sampah berbasis pemilahan, mempercepat serta memperluas larangan plastik sekali pakai, melarang mikroplastik primer, serta mendorong transisi ke sistem kemasan guna ulang (reuse) untuk mengurangi pencemaran dan dampak lingkungan,” katanya. Ia juga menekankan pentingnya standar pengujian mikroplastik yang ketat serta penetapan ambang batas kontaminasi dalam produk pangan dan lingkungan.
Di sisi lain, produsen juga diharapkan berkontribusi dengan mengurangi produksi serta distribusi plastik sekali pakai sebagai bagian dari tanggung jawab dalam pengelolaan sampah plastik.
“Produsen harus segera beralih ke sistem kemasan guna ulang (reuse) dan isi ulang (refill). Mereka juga perlu meningkatkan transparansi terkait komposisi plastik dalam produk serta menyusun peta jalan pengurangan sampah plastik,” tutup Ibar.
Dengan adanya langkah konkret dari berbagai pihak, diharapkan ancaman mikroplastik terhadap kesehatan manusia dapat dikendalikan dan diminimalisir demi lingkungan yang lebih bersih dan sehat.