Jakarta, Portonews.com – Berbagai bencana yang terjadi akibat cuaca ekstrem semakin menunjukkan urgensi mitigasi dan adaptasi iklim di Indonesia, khususnya di kawasan Jabodetabek. Greenpeace pun menyerukan agar pemerintah daerah di wilayah tersebut, bersama dengan pemerintah pusat, fokus untuk menangani dampak krisis iklim yang semakin parah. Perubahan fungsi lahan yang tidak terkendali serta respons yang lambat terhadap peringatan cuaca ekstrem telah menjadi penyebab utama terjadinya bencana banjir yang melanda Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek) belakangan ini. Banjir yang terjadi di awal Ramadan ini mengakibatkan banyak korban, seperti yang terlihat di Bekasi, di mana 20 titik di 7 kecamatan terendam banjir.
Perubahan drastis dalam bentang alam, terutama di daerah aliran sungai (DAS) Kali Bekasi, semakin memperburuk kondisi banjir di wilayah tersebut. Berdasarkan data Kementerian Kehutanan, pada tahun 2022, area terbangun di DAS Kali Bekasi mencapai 42 persen, jauh meningkat dari hanya 5,1 persen pada tahun 1990. Hal ini mengurangi kemampuan alam untuk menyerap air, yang berujung pada meningkatnya limpasan air ke sungai, dan akhirnya menyebabkan banjir besar yang merendam pemukiman di Bekasi.
“Penurunan luas hutan di DAS Kali Bekasi menjadi penyebab utama meluapnya sungai dan banjir yang menggenangi daerah permukiman,” jelas Sapta Ananda Proklamasi, Senior Data Strategist Greenpeace Indonesia.
Jeanny Sirait, Juru Kampanye Sosial dan Ekonomi Greenpeace Indonesia, menegaskan bahwa eksploitasi alam dan pembangunan yang tidak terkendali di wilayah DAS Kali Bekasi bisa dicegah jika pemerintah daerah lebih tegas dalam mengeluarkan pembatasan izin yang merusak lingkungan. Selain itu, pemerintah daerah juga harus lebih cepat merespon peringatan cuaca dini dari BMKG agar mitigasi bencana dapat dilakukan secara efektif.
“Peringatan dini dari BMKG seharusnya menjadi sinyal bagi pemerintah daerah untuk melakukan respon cepat guna meminimalisasi dampak bencana. Terutama di tengah krisis iklim yang meningkatkan frekuensi cuaca ekstrem seperti sekarang,” kata Jeanny.
Jeanny juga menyoroti perlunya pemerintah daerah untuk lebih fokus pada upaya mitigasi dan adaptasi terhadap krisis iklim, daripada mencari solusi sementara seperti modifikasi cuaca. Menurutnya, pemerintah daerah harus merancang kota yang tahan terhadap dampak perubahan iklim dan memastikan masyarakat siap menghadapi krisis iklim yang terus berkembang.
“Masyarakat, terutama yang terdampak seperti warga miskin kota, masyarakat pedesaan, serta warga pesisir dan pulau-pulau kecil, perlu mendapatkan dukungan penuh dari negara dalam upaya adaptasi dan mitigasi dampak krisis iklim,” tambah Jeanny.
Upaya mitigasi dan adaptasi ini meliputi pengelolaan DAS yang terpadu, restorasi hutan di hulu, pembenahan infrastruktur seperti sumur resapan dan biopori, serta pembatasan izin usaha yang merusak lingkungan.
Bondan Andriyanu, Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, menegaskan pentingnya langkah nyata dari pemerintah pusat dalam menangani krisis iklim.
“Krisis iklim yang semakin memperparah bencana hidrometeorologi seperti banjir ini membutuhkan kebijakan energi dan pembangunan yang lebih berani, terutama dengan meninggalkan energi fosil,” kata Bondan.