Jakarta, Portonews.com – Nuraini Rahma Hanifa, peneliti dari Pusat Riset Kebencanaan Geologi, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), mengingatkan masyarakat agar lebih waspada terhadap kemungkinan terjadinya bencana alam yang dapat terjadi kapan saja. Rahma menyampaikan bahwa wilayah selatan Jawa memiliki potensi terjadinya gempa megathrust yang berisiko memicu tsunami dengan skala besar, seperti yang pernah terjadi di Aceh.
Rahma menjelaskan bahwa berdasarkan penelitian, segmen megathrust di selatan Jawa, termasuk Selat Sunda, menyimpan energi tektonik dalam jumlah besar yang dapat memicu gempa dengan magnitudo antara 8,7 hingga 9,1. Kondisi ini memerlukan perhatian bersama agar langkah-langkah mitigasi dapat dilakukan dengan tepat untuk mengurangi dampak bencana.
“Potensi megathrust ini dapat memicu goncangan gempa yang besar dan tsunami, yang menjalar melalui Selat Sunda hingga ke Jakarta dengan waktu tiba sekitar 2,5 jam,” jelas Rahma dalam keterangannya dikutip dari website BRIN, Sabtu (4/1/2025).
Simulasi yang dilakukan BRIN bersama peneliti dari berbagai institusi menunjukkan bahwa jika tsunami terjadi, tinggi gelombang di pesisir selatan Jawa diperkirakan mencapai 20 meter, di Selat Sunda antara 3 hingga 15 meter, dan di pesisir utara Jakarta sekitar 1,8 meter. Penelitian juga mencatat bahwa fenomena semacam ini pernah terjadi sebelumnya, seperti tsunami Pangandaran pada tahun 2006 yang dipicu oleh marine landslide di sekitar Nusa Kambangan.
“Energi yang terkunci di zona subduksi selatan Jawa terus bertambah seiring waktu. Jika dilepaskan sekaligus, goncangan akan memicu tsunami tinggi yang bisa berdampak luas, tidak hanya di selatan Jawa tetapi juga di wilayah pesisir lainnya,” imbuhnyanya.
Pendekatan Struktural dalam Mitigasi Bencana
BRIN menyarankan mitigasi bencana dilakukan melalui pendekatan struktural dan non-struktural. Untuk pendekatan struktural, langkah-langkah yang dapat diambil meliputi pembangunan tanggul penahan tsunami, pemecah ombak, serta pengelolaan tata ruang kawasan pesisir dengan mempertimbangkan jarak aman sekitar 250 meter dari pantai.
“Pembangunan hutan pesisir atau vegetasi alami seperti pandan laut dan mangrove juga menjadi solusi berbasis ekosistem untuk meredam energi gelombang tsunami,” terang Rahma.
Pendekatan non-struktural mencakup upaya meningkatkan kesiapsiagaan masyarakat melalui edukasi tentang mitigasi bencana, latihan simulasi evakuasi, serta penyediaan jalur dan tempat evakuasi yang memadai. Langkah-langkah ini bertujuan agar masyarakat lebih siap menghadapi kemungkinan terjadinya bencana.
“Kita harus memastikan bahwa masyarakat memiliki pemahaman tentang potensi bahaya tsunami, sistem peringatan dini yang efektif, serta kemampuan merespons dengan cepat,” tuturnya.
Untuk wilayah perkotaan seperti Jakarta, yang memiliki kepadatan penduduk tinggi dan struktur tanah yang dapat memperkuat guncangan, mitigasi gempa memerlukan upaya penguatan bangunan melalui retrofitting. Hal ini bertujuan untuk meminimalkan risiko kerusakan akibat gempa besar.
“Retrofitting sangat penting, terutama untuk bangunan di kawasan padat penduduk, karena goncangan kuat berpotensi menyebabkan kerusakan masif dan korban jiwa,” imbuhnya.
Di kawasan industri seperti Cilegon, potensi bahaya lain yang perlu diantisipasi adalah risiko kebakaran akibat kebocoran bahan bakar atau bahan kimia dari fasilitas industri besar. Bahaya sekunder semacam ini perlu dicegah melalui penerapan standar keamanan yang lebih ketat.
Peringatan 20 Tahun Tsunami Aceh
Rahma juga menyampaikan hasil penelitian paleotsunami yang menunjukkan bahwa gempa megathrust di selatan Jawa memiliki periode ulang antara 400 hingga 600 tahun. Kejadian terakhir diperkirakan terjadi pada tahun 1699, sehingga energi yang tersimpan saat ini dianggap telah mencapai batas kritis.
“Bencana seperti tsunami Aceh mengajarkan kita bahwa kesiapsiagaan dan mitigasi bencana adalah kunci untuk menyelamatkan nyawa,” ucap dia.
Dalam rangka mitigasi risiko, BRIN bekerja sama dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), BMKG, dan berbagai institusi lainnya untuk memperkuat sistem peringatan dini tsunami, khususnya di wilayah Selat Sunda dan selatan Jawa.
Peringatan 20 tahun peristiwa tsunami Aceh digunakan sebagai momentum untuk meningkatkan kesadaran akan potensi bencana serupa di masa mendatang. BRIN berharap dengan dukungan riset dan teknologi, langkah-langkah mitigasi dapat dilakukan dengan lebih terorganisir dan efektif.
Melalui berbagai upaya mitigasi ini, diharapkan Indonesia lebih siap menghadapi potensi gempa megathrust dan tsunami, sehingga dampak kerusakan dan kerugian dapat diminimalkan.
“Kita tidak bisa memprediksi kapan gempa akan terjadi, tetapi kita dapat mempersiapkan diri. Adaptasi, edukasi, dan kolaborasi adalah kunci untuk mengurangi risiko bencana,” ujar Rahma.
Sumber: CNBC Indonesia