Sulteng, Portonews.com – Banjir besar yang mengguncang Kecamatan Bahodopi, Kabupaten Morowali, telah memaksa ribuan warga mengungsi setelah hujan deras disertai angin kencang mengguyur wilayah tersebut. Desa Lalampu dan Desa Labota menjadi yang paling parah terdampak, dengan tiang listrik yang tumbang dan infrastruktur rusak. Namun, di balik bencana ini, muncul sebuah pertanyaan besar, Apakah aktivitas pertambangan nikel yang semakin masif di wilayah tersebut menjadi penyebab utama kerusakan lingkungan dan banjir yang terus berulang?
Menurut temuan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Sulawesi Tengah, terdapat 17 izin tambang nikel yang beroperasi di Desa Lalampu. Data dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pada Mei 2024 menunjukkan bahwa salah satu perusahaan tambang besar, Bintang Delapan Mineral (BDM), memiliki konsesi seluas 20.765 hektare dan berperan sebagai pemasok utama ore untuk kawasan Industri Morowali Indonesia Park (IMIP). Wilayah yang terdampak meliputi Desa Bahomoahi, Bahomotefe, Lalampu, Lele, Dampala, Siumbatu, Bahodopi, Keurea, dan Fatufia.
Wandi, Manager Kampanye WALHI Sulawesi Tengah, menilai, “Peristiwa banjir yang sering terjadi di Kabupaten Morowali baik yang terjadi di Desa Lalampu maupun desa-desa lainnya di Kecamatan Bahodopi yang menjadi langganan bencana ekologis, tentu tidak bisa dipisahkan dari keberadaan pertambangan nikel yang semakin masif dan membuat ketidakseimbangan ekologi. Peningkatan pertambangan nikel mengurangi daya dukung lingkungan dan tata kelola bertambangan buruk.”
Lonjakan aktivitas pertambangan nikel di Kabupaten Morowali merupakan konsekuensi dari program hilirisasi nikel yang dicanangkan pemerintah. Saat ini, tercatat ada 65 izin usaha pertambangan (IUP) yang berstatus operasi produksi di Morowali dengan total luas konsesi mencapai 155.051 hektare.
Bagi WALHI Sulawesi Tengah, peristiwa banjir yang terus berulang di Morowali ini seharusnya menjadi pembahasan yang serius bagi Pemerintah Kabupaten Morowali, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Pusat. “Bukan hanya terus berbicara bagaimana keuntungan dari pertambangan nikel, tapi juga harus melihat dan mengevaluasi izin-izin pertambangan nikel yang membuat daya kerusakan lingkungan di sana, karena mengingat sepanjang tahun 2025, peristiwa banjir ini sudah berulang kali terjadi di Kabupaten Morowali, sebelumnya banjir yang disertai lumpur terjadi di penghujung tahun 2024 di Desa Labota,” tutup Wandi.
Atas situasi ini, WALHI Sulawesi Tengah mendesak Pemerintah Kabupaten Morowali, Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah, Pemerintah Pusat, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), dan Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) untuk segera melakukan moratorium dan evaluasi terhadap seluruh aktivitas pertambangan nikel yang beroperasi di wilayah pegunungan Morowali. Aktivitas tersebut diduga menjadi faktor utama penyebab banjir yang mengorbankan rakyat. “Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup sangat jelas menegaskan soal pengawasan dan penegakan hukum bagi pelaku perusak lingkungan,” tegas WALHI.