Jakarta, Portonews.com – Selama lebih dari satu dekade, warga Kampung Cibetus, Kecamatan Padarincang, Kabupaten Serang, Banten, telah berjuang melawan dampak buruk yang ditimbulkan oleh PT Sinar Ternak Sejahtera (STS), anak perusahaan Charoen Pokphand Indonesia. Sejak PT STS mulai beroperasi, lingkungan sekitar kampung mengalami perubahan drastis akibat pencemaran yang ditimbulkan oleh usaha peternakan ayam berskala besar ini.
“Warga telah berulang kali menyampaikan keluhan terkait pencemaran udara, bau menyengat dari limbah peternakan, serta meningkatnya kasus Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) yang menyerang banyak penduduk, termasuk anak-anak dan lansia,” ujar salah seorang warga yang enggan disebutkan namanya.
Meskipun mereka sudah berusaha mencari keadilan melalui berbagai jalur, mulai dari audiensi dengan pemerintah daerah, pengaduan ke dinas terkait, hingga aksi protes damai, respons yang diberikan sangat lamban dan tidak memadai. Penderitaan yang terus berlanjut membuat warga semakin frustasi. “Kami terus berjuang untuk mendapatkan hak kami, tetapi respons dari pemerintah sangat lambat, sementara kami terus menderita,” kata seorang ibu yang anaknya sering jatuh sakit karena polusi udara.
Alih-alih mendapatkan perlindungan, warga justru menyaksikan bagaimana aparat penegak hukum lebih berpihak kepada kepentingan korporasi. Selama bertahun-tahun, PT STS tetap beroperasi tanpa tindakan hukum yang berarti, meskipun dampak buruk terhadap kesehatan dan lingkungan semakin nyata.
Puncak dari akumulasi ketidakadilan tersebut terjadi pada November 2024, ketika warga memicu insiden pembakaran kandang ayam PT STS. Insiden ini bukanlah aksi kriminal tanpa sebab, tetapi sebuah reaksi dari rasa frustrasi yang telah menumpuk selama bertahun-tahun.
Namun, respon dari pihak berwenang sangat berbeda. Media arus utama cenderung menyudutkan warga, menggambarkan mereka sebagai pelaku kekerasan tanpa melihat akar masalah yang lebih dalam. “Kami hanya menuntut hak kami untuk hidup sehat, tetapi tidak ada yang mendengarkan,” ungkap seorang pemuda yang turut terlibat dalam aksi tersebut.
Pada dini hari 7 Februari 2025, Kampung Cibetus berubah mencekam. Serangkaian penangkapan disertai teror dimulai. Aparat bersenjata lengkap menyerbu desa, mendobrak rumah-rumah warga, dan menangkap orang-orang, termasuk santri dan pengelola pesantren, tanpa menunjukkan surat penangkapan. “Teror terjadi di tengah malam, keluarga korban hanya bisa menangis dan bertanya-tanya: ‘Apa salah kami?'” ungkap seorang saksi mata.
Penangkapan ini terus berlanjut, hingga pada 13 Januari 2025, sudah ada 13 orang yang ditangkap. Semua penangkapan ini dilakukan sebagai respons atas insiden pembakaran kandang ayam PT STS yang dituding sebagai aksi kriminal warga. Namun, di balik insiden tersebut, terdapat perjuangan panjang warga Cibetus yang selama bertahun-tahun berusaha menuntut keadilan atas pencemaran lingkungan yang mereka alami.
Sebagai kesimpulan, apa yang terjadi di Kampung Cibetus bukan hanya masalah pembakaran kandang ayam, melainkan refleksi dari kegagalan negara dalam melindungi hak-hak warga negara terhadap dampak korporasi.
Sumber : Walhi