Jakarta, Portonews.com – Menurut Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023, jumlah perokok di Indonesia tercatat mencapai 70,2 juta, dengan 63,1 juta di antaranya merupakan perokok dewasa, dan 5,9 juta lainnya adalah perokok anak-anak berusia 10-18 tahun. Hal ini menempatkan Indonesia sebagai pasar rokok terbesar ketiga di dunia, meskipun enam dari sepuluh kematian di negara ini disebabkan oleh perilaku merokok. Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menyebutkan bahwa biaya yang dikeluarkan untuk menangani penyakit terkait rokok di banyak daerah jauh lebih besar dibandingkan dengan penerimaan pajak dari iklan rokok.
“Pajak dari iklan rokok daerah itu hanya sekitar Rp150 juta, sedangkan pengeluaran mereka untuk penyakit akibat rokok kurang lebih Rp5,4 miliar,” kata dr. Benget Saragih, Ketua Tim Kerja Pengendalian Penyakit Akibat Tembakau Kemenkes, dalam acara temu media di Jakarta, Kamis (20/2), seperti dilansir laman Antara.
Ia juga mengungkapkan bahwa berdasarkan laporan dari kepala dinas kesehatan di 50 kabupaten/kota, pengeluaran rumah tangga terbesar di daerah tersebut adalah untuk membeli rokok, bahkan lebih besar dibandingkan pengeluaran untuk makanan sehat yang mengandung protein.
“Pengeluaran nomor satu di Sumatera Barat itu untuk rokok, padahal pendapatan dari Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT) tidak seberapa dibandingkan dampak penyakit akibat merokok yang bisa menghabiskan biaya sampai Rp5,4 miliar per tahunnya,” ujarnya.
Lebih lanjut, Benget merinci hasil survei 2017 yang menunjukkan penerimaan negara dari rokok sebesar Rp147 triliun, sementara pengeluaran untuk penyakit akibat merokok tercatat Rp435 triliun.
“Ada 21 penyakit akibat perilaku merokok, termasuk rawat jalan dan rawat inap. Dampak lainnya adalah, karena mereka tidak bekerja akibat sakit, kebutuhan sehari-hari mereka jadi terganggu, sehingga penghasilan yang semula ada dari pekerjaan bisa hilang,” jelasnya.
Benget pun menekankan pentingnya implementasi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 mengenai pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, yang mengatur dengan ketat rokok elektronik dan rokok konvensional.
Kemenkes juga tengah berupaya untuk meningkatkan ukuran peringatan kesehatan bergambar pada kemasan rokok, yang saat ini hanya mencakup 30-40 persen, menjadi 80 persen. Selain itu, Benget juga menekankan pentingnya penerapan kemasan rokok yang terstandarisasi guna mengurangi prevalensi perokok anak-anak.
“Standardisasi kemasan itu bisa mengurangi daya tarik produk, meningkatkan efektivitas kampanye pengurangan perokok, serta membantu menurunkan angka perokok baru,” tandasnya.