Jakarta, Portonews.com – Baru-baru ini, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia resmi mengesahkan Rancangan Undang-Undang tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (RUU Minerba) menjadi Undang-Undang melalui rapat paripurna. Meski telah disahkan, keputusan ini menuai kritik keras dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), yang mengungkapkan kekhawatirannya terkait sejumlah perubahan yang terkandung dalam UU Minerba yang baru.
WALHI menilai bahwa perubahan keempat dalam UU Minerba ini tidak didasarkan pada pendekatan kebijakan yang tepat. Menurut mereka, proses perumusan yang dilakukan justru mengabaikan peran penting negara dalam pengelolaan sumber daya alam secara menyeluruh, dan malah memperburuk pengelolaan yang sudah kompleks. Alih-alih memperkuat kontrol negara untuk memastikan pengelolaan sumber daya alam yang adil dan berkelanjutan, perubahan tersebut justru membuka peluang bagi penyimpangan yang dapat merugikan kondisi sosial dan lingkungan di Indonesia.
Salah satu hal yang paling ditekankan oleh WALHI adalah perluasan subjek hukum yang berhak memperoleh konsesi tambang, termasuk badan usaha swasta, organisasi kemasyarakatan, serta usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Pemberian hak pengelolaan pertambangan kepada ormas keagamaan menjadi perhatian khusus, karena hal ini menimbulkan pertanyaan besar terkait kapasitas pengelolaan dan transparansi. Kebijakan tersebut dinilai berpotensi memunculkan konflik kepentingan serta membuka jalan bagi eksploitasi yang tidak berkelanjutan.
Perubahan ini juga tidak menyentuh akar masalah mendalam yang selama ini ada dalam sektor pertambangan Indonesia, seperti konflik sosial yang kerap berujung pada kriminalisasi terhadap masyarakat, terutama mereka yang berusaha mempertahankan ruang hidup mereka dari ekspansi industri ekstraktif. Selain itu, praktik korupsi dalam perizinan dan pengelolaan tambang, serta kurangnya tanggung jawab dari korporasi terhadap dampak sosial dan lingkungan, tetap tidak mendapatkan perhatian yang cukup dalam revisi ini. Kebijakan yang ada lebih berfokus pada liberalisasi dan privatisasi pengelolaan sumber daya alam, yang semakin mempersempit peran negara.
Selain itu, WALHI menegaskan bahwa perubahan ini juga mengabaikan dampak lingkungan yang semakin memburuk akibat eksploitasi sumber daya alam yang tidak terkendali. Aktivitas pertambangan, khususnya di sektor batu bara dan mineral logam, telah menyebabkan kerusakan serius seperti deforestasi, pencemaran air, dan kerusakan ekosistem di berbagai wilayah Indonesia. Penurunan kualitas pengelolaan lingkungan ini berisiko memperburuk krisis ekologis dan meningkatkan potensi bencana lingkungan yang membahayakan masyarakat sekitar.
Lebih jauh lagi, perubahan ini dianggap bertentangan dengan prinsip-prinsip keberlanjutan yang terkandung dalam UUD 1945, yang mengamanatkan pengelolaan sumber daya alam demi kemakmuran rakyat, sekaligus menjaga keberlanjutan untuk generasi mendatang. Alih-alih mendorong keberlanjutan, UU Minerba yang baru justru berisiko mengarah pada eksploitasi yang lebih besar tanpa pengawasan yang memadai.
Beberapa poin yang disampaikan oleh WALHI terkait perubahan UU Minerba ini antara lain adalah sebagai berikut:
- Fokus pada Pengendalian Konsesi Tanpa Penguatan Pengelolaan – Perubahan ini lebih mengedepankan perluasan subjek hukum yang dapat memperoleh konsesi tambang, tetapi tidak memperkuat sistem pengelolaan dan pengawasan yang sangat diperlukan untuk keberlanjutan.
- Liberalisasi dan Privatisasi Sumber Daya Alam – Kebijakan ini memberi hak lebih besar kepada badan usaha swasta untuk mendapatkan konsesi pertambangan, padahal sebelumnya negara lebih memiliki peran dalam pengelolaan tersebut.
- Pelemahan Pengawasan – Pengawasan yang lemah selama ini merupakan masalah utama dalam tata kelola pertambangan di Indonesia. Sayangnya, revisi ini tidak memperkenalkan penguatan mekanisme pengawasan yang memadai, yang justru membuka celah untuk eksploitasi tanpa kontrol.
- Pemberian Konsesi kepada Ormas Keagamaan dan UMKM – Kebijakan ini memberikan hak pengelolaan tambang kepada ormas keagamaan dan UMKM, yang berpotensi menimbulkan masalah dalam pengelolaan yang bertanggung jawab.
- Dampak Lingkungan yang Semakin Parah – Tanpa ada penguatan dalam pengelolaan lingkungan, UU Minerba yang baru berpotensi memperburuk krisis lingkungan yang terkait dengan pertambangan, seperti deforestasi dan pencemaran air.
WALHI pun mengingatkan bahwa perubahan UU Minerba ini perlu dipertimbangkan kembali, mengingat kebijakan yang terburu-buru dan tidak mempertimbangkan dampak jangka panjang hanya akan memperburuk tata kelola pertambangan yang sudah rapuh. Oleh karena itu, WALHI mendesak pemerintah dan DPR untuk lebih mengutamakan keberlanjutan lingkungan dan kesejahteraan masyarakat dalam setiap kebijakan yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam.