Jakarta, Portonews.com – Perdana Menteri Jepang yang baru, Ishiba Shigeru, mengunjungi Indonesia untuk melakukan lawatan bilateral pertamanya setelah dilantik, Sabtu (11/1). Lawatan ini juga diikuti dengan kunjungannya ke Malaysia. Sayangnya, meski merupakan langkah penting dalam hubungan bilateral kedua negara, lawatan PM Ishiba ini membawa tawaran kerjasama yang tidak jauh berbeda dari program lama yang telah terbukti gagal dan menimbulkan dampak negatif terhadap masyarakat serta lingkungan di Indonesia.
Dalam pernyataan pers bersama Presiden Indonesia, Prabowo Subianto, dan PM Ishiba Shigeru, yang diterbitkan melalui laman resmi Presiden Indonesia, PM Ishiba menekankan kesepakatan untuk memperkuat pasokan energi yang stabil, termasuk upaya dekarbonisasi, yang melibatkan proyek PLTP Muara Laboh dalam kerangka Asia Zero Emission Community (AZEC), serta pengembangan energi hidrogen, amoniak, biofuel, dan lainnya. Selain itu, disebutkan pula kerjasama di sektor pertambangan mineral kritis.
Namun, inisiatif-inisiatif ini bukanlah hal baru, karena sebelumnya Jepang juga telah mendorong proyek serupa melalui AZEC. Hal ini mendapat penolakan keras dari masyarakat sipil Indonesia, yang pada Agustus 2024 lalu telah mengajukan petisi yang didukung oleh 41 organisasi masyarakat sipil untuk menghentikan implementasi AZEC. Mereka menilai bahwa proyek tersebut akan memperpanjang ketergantungan pada energi fosil, memperkenalkan solusi palsu yang merusak lingkungan serta mengancam hak asasi manusia dan keselamatan komunitas.
Fanny Tri Jambore, Kepala Divisi Kampanye WALHI, mengungkapkan bahwa dalam proyek PLTP Muara Laboh, yang secara spesifik disebutkan oleh PM Ishiba, sudah terjadi berbagai dampak buruk terhadap lingkungan dan masyarakat. Hal tersebut termasuk pembebasan lahan yang dilakukan secara paksa dan diskriminatif, gangguan terhadap hasil pertanian akibat pencemaran dan berkurangnya pasokan air, ancaman gas beracun yang membahayakan kesehatan, serta peningkatan risiko banjir akibat perubahan lanskap. Proyek ini dibiayai oleh INPEX dan Sumitomo Corporation, dan telah menerima pendanaan dari Japan Bank for International Cooperation (JBIC) serta Nippon Export and Investment Insurance (NEXI). Kini, pengembangan Tahap 2 dari PLTP Muara Laboh sedang dipertimbangkan untuk didukung oleh kedua lembaga tersebut. WALHI pun telah menyerukan agar JBIC dan NEXI menghentikan rencana tersebut, karena potensi dampak negatif yang lebih besar terhadap masyarakat dan lingkungan.
Lebih lanjut, Fanny Tri Jambore menilai bahwa seruan PM Ishiba untuk mengembangkan hidrogen, amoniak, biofuel, dan sektor pertambangan mineral kritis sebagai bagian dari upaya dekarbonisasi justru memperlihatkan dukungan terhadap solusi yang memperpanjang penggunaan energi fosil. Solusi-solusi ini dianggap tidak akan membantu mengurangi emisi gas rumah kaca yang dibutuhkan untuk memenuhi target 1,5°C yang tercantum dalam Perjanjian Paris. Beberapa teknologi ini juga dinilai masih belum terbukti efektif, belum matang, dan sangat mahal. Selain itu, mendorong pertambangan mineral kritis untuk mendukung dekarbonisasi juga dipandang kontradiktif, karena menyebabkan kerusakan hutan dan deforestasi yang semakin meningkat. Berdasarkan data 2023, WALHI memperkirakan bahwa sekitar 1,3 juta hektar konsesi tambang mineral kritis di Indonesia berlokasi di atau berbatasan langsung dengan kawasan hutan, yang berpotensi memperburuk kerusakan ekosistem hutan.
Dengan melihat potensi kerusakan yang lebih luas terhadap lingkungan dan keselamatan masyarakat, WALHI menegaskan kembali seruannya kepada pemerintah Jepang dan Indonesia untuk membatalkan segala inisiatif, proyek, dan kesepakatan yang berpotensi memperpanjang penggunaan energi fosil, menggunakan solusi yang tidak berdampak nyata pada transisi energi, serta mengabaikan hak asasi manusia. Selain itu, WALHI mendesak kedua pemerintah untuk mendukung transisi energi yang cepat, adil, dan merata, yang mencakup partisipasi yang berarti dari masyarakat lokal dan kelompok masyarakat sipil di Indonesia.
Sumber : Siaran Pers Walhi