Jakarta, Portonews.com – Pemerintah telah memberikan izin kepada perusahaan besar, terutama di sektor perkebunan sawit, pertambangan, dan Hutan Tanaman Industri (HTI), untuk mengelola kawasan hutan dengan janji melakukan rehabilitasi setelah eksploitasi. Namun, kenyataannya, lahan yang telah digunduli jarang kembali ke kondisi semula, dan kerusakan lingkungan tetap terjadi.
Kebijakan pemerintah yang lebih mengutamakan kepentingan ekonomi dibandingkan dengan kelestarian lingkungan ini sering kali menyebabkan pelanggaran yang dibiarkan tanpa tindakan tegas, dengan alasan birokrasi yang rumit. Seharusnya, jika konsep Revolusi Hijau benar-benar dijalankan dengan serius, penegakan hukum terhadap perusahaan yang merusak hutan harus dilakukan.
Kurangnya pengawasan serta sanksi yang lemah membuat eksploitasi hutan terus berlangsung tanpa adanya konsekuensi berarti. Sementara itu, masyarakat lokal yang berjuang untuk menjaga kelestarian lingkungan sering kali dianggap sebagai penghambat pembangunan. Program penghijauan atau reboisasi yang dijalankan pemerintah Kalimantan Selatan selama ini dinilai berhasil, namun Organisasi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) mencatat bahwa laju deforestasi di wilayah tersebut masih terus berlanjut.
Raden Rafiq Sepdian Fadel Wibisono, Direktur Eksekutif Walhi Kalimantan Selatan mengungkapkan bahwa pemerintah seringkali menggunakan Revolusi Hijau untuk menutupi berbagai bentuk eksploitasi lingkungan, terutama di kawasan hutan. Menurutnya, program yang seharusnya menjadi solusi untuk krisis lingkungan justru menjadi alat untuk melegitimasi deforestasi dan alih fungsi lahan secara besar-besaran, Jumat (14/3).
Menurut Raden Rafik, pemerintah sering kali menggunakan Revolusi Hijau sebagai alasan untuk membungkus berbagai bentuk eksploitasi lingkungan, terutama di kawasan hutan. Program yang seharusnya menjadi solusi atas krisis lingkungan ini justru dijadikan tameng untuk melegitimasi deforestasi dan alih fungsi lahan secara masif.
“Alih-alih menjadi gerakan penghijauan yang nyata, Revolusi Hijau lebih sering menjadi narasi politik yang digunakan untuk meredam kritik publik terhadap kerusakan lingkungan,” katanya.seperti dilansir laman rri.
Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan sendiri mengklaim telah melakukan penghijauan dan rehabilitasi lahan, namun fakta di lapangan menunjukkan bahwa laju deforestasi masih jauh lebih besar dibandingkan dengan area yang telah direboisasi. Data dari Walhi Kalimantan Selatan menunjukkan bahwa pada tahun 2023 hingga 2024, deforestasi di wilayah ini mencapai 146.956,8 hektare. Kabupaten Kotabaru mencatatkan deforestasi terbesar, dengan luas 66.155,11 hektare, diikuti Tanah Bumbu dengan 35.890,97 hektare, dan Banjar yang mencapai hampir 15.000 hektare.
Sementara itu, program penghijauan yang dilakukan pemerintah seringkali hanya bersifat seremonial tanpa pemantauan yang memadai untuk memastikan keberlanjutannya. Rafiq menambahkan, “Perbandingan antara laju deforestasi dan upaya penghijauan sangat jauh. Proses pemulihan membutuhkan waktu yang panjang, sementara Revolusi Hijau justru lebih sering dijadikan alasan untuk mengesahkan izin eksploitasi hutan dengan dalih pembangunan dan investasi.”
Pemerintah dan masyarakat perlu duduk bersama untuk mencari solusi yang lebih efektif dalam menanggulangi deforestasi dan memastikan bahwa program penghijauan benar-benar memberikan dampak positif bagi kelestarian lingkungan. (Walhi )