Jakarta, Portonews.com – Revisi Undang-Undang (UU) 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang tengah dibahas oleh DPR RI diharapkan menjadi langkah penting dalam memperbaiki tata kelola hutan Indonesia. Sejumlah organisasi lingkungan menyambut baik rencana tersebut, menginginkan perubahan yang lebih progresif, transparan, dan mampu menghadapi tantangan besar yang kini mengancam kelestarian hutan.
Dalam pernyataan pada Selasa (18/3) di Jakarta, Koordinator Forum Dialog Konservasi Indonesia (FDKI), Muhamad Burhanudin, menjelaskan bahwa UU No. 41 Tahun 1999 telah menjadi dasar utama dalam tata kelola hutan Indonesia selama lebih dari dua dekade.
“Namun, seiring perkembangan zaman dan meningkatnya tekanan terhadap sumber daya hutan, regulasi ini dinilai perlu diperbarui untuk menyesuaikan dengan tantangan saat ini,” kata Burhanudin dalam diskusi yang diadakan oleh Yayasan KEHATI bersama FDKI di Jakarta kemarin.
Burhanudin juga menyoroti sejumlah isu penting yang tengah dihadapi, seperti deforestasi dan alih fungsi lahan yang berkontribusi besar terhadap emisi gas rumah kaca (GRK), yang menjadi penyebab utama perubahan iklim. Di sisi lain, ia menegaskan bahwa penegakan hukum harus dimaksimalkan untuk menangani berbagai isu yang berkaitan dengan kehutanan.
Pada kesempatan yang sama, Juru Kampanye Forest Watch Indonesia (FWI), Anggi Putra Prayoga, menjelaskan bahwa ketidaksesuaian UU 41 Tahun 1999 dengan kondisi dan tantangan kehutanan saat ini, termasuk dampak perubahan iklim, deforestasi, degradasi hutan, dan meningkatnya konflik agraria, menjadi perhatian utama. Selain itu, tumpang tindih regulasi dengan undang-undang lain, seperti UU Cipta Kerja, juga dinilai turut mempengaruhi tata kelola kehutanan.
“Belum maksimalnya perlindungan terhadap masyarakat adat dan lokal, yang sering kali kesulitan memperoleh pengakuan atas hak mereka di dalam dan sekitar hutan, bahkan mengalami kriminalisasi, menjadi catatan buruk yang harus dicarikan solusi dalam UU yang baru. Putusan MK 35 Tahun 2012 harus menjadi pertimbangan dalam UU Kehutanan yang baru,” tuturnya.
Para aktivis lingkungan berharap bahwa revisi UU 41 Tahun 1999 dapat menjawab berbagai masalah dalam tata kelola kehutanan, termasuk isu transparansi dan akuntabilitas dalam perizinan serta pengawasan pengelolaan hutan. Selain itu, mereka juga menginginkan penguatan penegakan hukum untuk menghadapi praktik pembalakan liar (illegal logging), perambahan hutan, dan kebakaran hutan.
Revisi UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sendiri telah dimasukkan dalam program legislasi nasional (prolegnas) 2025 atas inisiatif DPR RI.