Bangka, Portonews.com – Aktivitas industri ekstraktif, khususnya pertambangan timah, di Kepulauan Bangka Belitung (Babel) telah menimbulkan dampak yang sangat serius bagi lingkungan, ekonomi, dan kehidupan sosial. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Kepulauan Babel mengungkapkan bahwa krisis yang terjadi di wilayah ini kini telah mencapai titik yang memprihatinkan.
Direktur Eksekutif WALHI Kepulauan Babel, Ahmad Subhan Hafiz, dalam rilisnya pada Sabtu (4/1/2025), menekankan bahwa buruknya pengelolaan pertambangan timah menjadi ancaman besar bagi kelestarian lingkungan. Hal ini ditunjukkan dengan hilangnya 30.594 hektar tutupan hutan dan peningkatan lahan kritis yang mencapai 167.065 hektar pada 2022.
Dampak dari eksploitasi tambang timah tidak hanya terlihat dari kerusakan ekosistem, namun juga mempengaruhi keberlanjutan sumber daya alam lainnya. Dari 433 Daerah Aliran Sungai (DAS) di Babel, setidaknya 202 DAS terkontaminasi akibat aktivitas pertambangan timah, dengan wilayah terluas berada di Kabupaten Belitung Timur yang mencakup 13.140 hektar, menurut data DIKPLHD 2021. Kerusakan ini juga berdampak pada terjadinya bencana alam seperti kekeringan, banjir, hingga longsor yang semakin memperburuk kondisi daerah.
Kejadian-kejadian bencana tersebut, seperti kemarau panjang di Pulau Bangka pada 2015 dan banjir besar yang melanda hampir seluruh wilayah pada 2016, menunjukkan bahwa perubahan lingkungan yang dramatis terjadi akibat aktivitas ekstraktif. Data dari BPBD 2020 menunjukkan bahwa bencana seperti tanah longsor, banjir, dan kekeringan berada pada kategori risiko tinggi, dan pada 2023 tercatat lebih dari 1.000 bencana terjadi di Babel.
“Semuanya diperburuk oleh krisis iklim yang semakin terasa, sementara eksploitasi tambang timah di Babel telah melebihi kapasitas daya dukung lingkungan,” ujar Hafiz.
Selain merusak lingkungan, industri pertambangan timah juga telah menelan banyak korban jiwa. WALHI Kepulauan Babel mencatat bahwa sepanjang 2021-2024, sebanyak 32 orang meninggal akibat kecelakaan tambang, sementara 23 lainnya mengalami luka-luka. Korban lain yang tak terhitung jumlahnya adalah anak-anak dan remaja yang menjadi korban tenggelam di kolong bekas tambang yang belum direklamasi. Sejak 2021-2024, tercatat 30 kasus tenggelam, dengan 17 di antaranya melibatkan anak-anak dan remaja berusia 7-20 tahun.
Hafiz juga mencatat, kerusakan habitat alami seperti kantung-kantung habitat buaya muara turut memperburuk kondisi. Dalam tiga tahun terakhir, tercatat 36 serangan buaya, yang menyebabkan 19 orang meninggal dan 17 lainnya luka-luka.
Korupsi dalam sektor pertambangan timah juga semakin memperburuk keadaan. Hafiz mengungkapkan bahwa penanganan kasus korupsi yang melibatkan 22 terdakwa, termasuk eks Direktur Jenderal Minerba, PT Timah, serta pengusaha lainnya, telah menambah catatan buruk dalam tata kelola pemerintahan dan sumber daya alam di Indonesia, khususnya di Kepulauan Babel.
Putusan hakim yang memberikan vonis ringan terhadap terdakwa yang merugikan negara hingga Rp300 triliun dinilai WALHI Kepulauan Babel sebagai keputusan yang tidak adil. “Masyarakat bertanya-tanya, apa yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam keputusan ini, padahal jelas kerugian negara sangat besar, baik dari sisi ekonomi, lingkungan, maupun dampaknya terhadap kehidupan sosial,” ujar Hafiz.
Selain itu, WALHI juga menyoroti kurangnya kepastian hukum terkait pemulihan lingkungan. Meski kerusakan ekologi merupakan kerugian terbesar dalam kasus ini, putusan hakim tidak memerintahkan tanggung jawab pemulihan lingkungan yang jelas. “Pemulihan ekologi harus menjadi prioritas utama. Jika negara hanya merampas harta kekayaan terdakwa tanpa menuntut pemulihan lingkungan, maka itu hanya akan menjadi efek jera yang kosong,” ujar Hafiz.
Penting bagi negara untuk segera merumuskan skema pemulihan lingkungan yang jelas, guna memperbaiki kerusakan yang sudah terjadi dan mencegah dampak jangka panjang. Skema pemulihan ini harus mencakup restorasi lanskap adat, ekosistem esensial, dan wilayah kelola rakyat sebagai bagian dari upaya melindungi dan memulihkan daerah yang telah rusak akibat pertambangan timah yang tidak terkelola dengan baik.