Palembang, Portonews.com – Setelah berbulan-bulan tercekik kabut asap yang mempengaruhi kehidupan sehari-hari, gugatan yang diajukan oleh sebelas warga Sumatera Selatan memasuki tahap krusial di Pengadilan Negeri Palembang. Para saksi fakta mulai memberikan keterangan yang mengungkapkan dampak luar biasa dari kebakaran hutan dan lahan yang diduga terjadi di konsesi tiga perusahaan besar yang berada di bawah kendali Grup Sinar Mas yaitu PT Bumi Mekar Hijau, PT Bumi Andalas Permai, dan PT Sebangun Bumi Andalas (SBA) Wood Industries, yang semuanya berada di bawah kontrol Asia Pulp and Paper. Kasus ini bukan hanya tentang kerugian materiil, tetapi juga tentang perjuangan hak atas udara bersih yang telah lama diabaikan.
Salah satu saksi, Mat Arif, seorang pekerja konstruksi, menceritakan bagaimana kabut asap mempengaruhi pekerjaannya. “Kabut asap tahun 2023 menghambat pekerjaan saya. Pekerjaan konstruksi baja ringan atau pembangunan atap yang seharusnya bisa selesai satu minggu jadi molor hingga tiga minggu. Hal tersebut membuat saya mengalami kerugian karena hilangnya waktu bekerja dan tertunda dapat upah,” ungkap Mat Arif, yang juga merupakan salah satu penggugat dalam kasus ini.
Para penggugat dan saksi turut hadir di ruang sidang dengan mengenakan masker yang bertuliskan “Belum Merdeka dari Asap”, sebagai simbol perjuangan mereka dalam menghadapi dampak kabut asap yang terus berlanjut. Mereka datang dari Kabupaten Ogan Komering Ilir dan Kota Palembang untuk mengawal proses persidangan ini.
Sebanyak dua belas saksi yang hadir dalam persidangan kali ini adalah warga yang merasakan dampak serupa dengan para penggugat. Mereka menceritakan kerugian ekonomi yang dialami akibat kabut asap, serta menekankan dampak negatif terhadap kesehatan mereka. Sebelumnya, penggugat juga telah memaparkan kerugian materil dan imateril yang mereka alami, termasuk rasa sakit emosional dan hilangnya hak atas udara bersih.
Salah satu saksi fakta yang dihadirkan dalam persidangan adalah Sapta Ananda Proklamasi, Senior Data Strategist dari Greenpeace Indonesia, yang juga bertindak sebagai penggugat intervensi. Sapta memberikan penjelasan terkait lokasi konsesi yang dimiliki oleh ketiga tergugat, yang berada di dalam Kesatuan Hidrologis Gambut Sungai Sugihan-Sungai Lumpur (KHG SSSL). Ia mengungkapkan temuan kanal-kanal drainase yang mengeringkan gambut dan menyebabkan terjadinya kebakaran berulang kali di wilayah tersebut. Berdasarkan data, antara tahun 2001 hingga 2020, luas area yang terbakar di konsesi ketiga perusahaan mencapai 473 ribu hektare, yang mencakup 92 persen dari total area terbakar di KHG SSSL. Dari angka tersebut, sekitar 46 persen terjadi dalam periode 2015 hingga 2020.
Namun, Sapta tidak dapat melanjutkan kesaksiannya setelah pihak kuasa hukum tergugat menolak kehadirannya sebagai saksi fakta. Pihak tergugat bahkan mengancam akan meninggalkan ruang sidang jika saksi tetap melanjutkan keterangannya. “Ada perdebatan tentang apakah saksi fakta dapat menyampaikan kesaksiannya atau tidak. Meskipun ada keberatan dari pihak tergugat, keputusan akhir ada pada majelis hakim. Hakim sebenarnya telah menawarkan kepada saksi untuk mengurungkan atau melanjutkan kesaksiannya. Namun, kuasa hukum tergugat menginterupsi dan mengatakan akan walk out jika saksi melanjutkan,” jelas Caesar Aditya, perwakilan kuasa hukum penggugat. Ia juga menambahkan bahwa tindakan kuasa hukum tergugat dianggap kurang profesional dan tidak menghargai jalannya persidangan.
Sebagai penggugat intervensi, Greenpeace Indonesia meminta majelis hakim untuk memerintahkan ketiga perusahaan untuk memulihkan lahan gambut yang rusak di konsesi mereka. Selain itu, mereka juga mendesak hakim untuk memastikan bahwa kebakaran lahan dan penyebaran kabut asap tidak akan terulang di masa depan. “Kami mewakili kepentingan lingkungan hidup yang terdampak. Alih fungsi lahan dari hutan dan gambut menjadi kebun tanaman komersial tidak hanya berdampak pada keanekaragaman hayati dan cadangan karbon, tetapi juga memperburuk krisis iklim,” kata Belgis Habiba, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia.
Sementara itu, Fribertson Parulian Samosir, kuasa hukum penggugat dari Lembaga Bantuan Hukum Palembang, menekankan bahwa ketiga perusahaan harus bertanggung jawab penuh atas kabut asap yang dihasilkan dari kebakaran di konsesi mereka. “Dengan terjadinya kabut asap ini, ketiga perusahaan mengingkari visi mereka sendiri yang mencantumkan aspek menjaga lingkungan. Kami meminta pertanggungjawaban mutlak (strict liability) dan berharap keterangan saksi dapat membantu hakim untuk melihat dampak nyata kabut asap bagi penggugat,” tegas Fribertson.
Kasus ini terus menjadi sorotan publik, dengan banyak pihak berharap agar pengadilan dapat memberikan keputusan yang adil, baik bagi korban kabut asap maupun bagi kelestarian lingkungan hidup di Sumatera Selatan.