Bogor, Portonews.com – Banjir bandang yang melanda wilayah Kabupaten Bogor pada Minggu (2/3) lalu kembali menyoroti urgensi penanganan bencana yang semakin sering terjadi akibat krisis ekologis. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Barat mencatat bencana ini sebagai salah satu dampak dari kerusakan lingkungan yang telah berlangsung selama bertahun-tahun.
Direktur Eksekutif Walhi Jawa Barat, Wahyudin Iwang, menjelaskan bahwa bencana ini terjadi setelah hujan lebat yang mengguyur wilayah tersebut selama beberapa jam. “Situasi tersebut menyebabkan Sungai Ciliwung jebol dan meluap hingga menghantam pemukiman warga di sekitarnya,” ujarnya seperti dilansir Jabar Ekspres, Rabu (5/3).
Kondisi banjir semakin parah dengan aliran air yang membawa lumpur dan material kayu dari hulu, memperburuk keadaan. Jalan Raya Puncak, yang biasanya ramai dengan wisatawan, mendadak terendam air. Berdasarkan data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Bogor, bencana ini telah memengaruhi 423 kepala keluarga, dengan seorang warga dilaporkan hilang akibat terseret arus sungai.
“Sebagian besar terpaksa mengungsi ke tempat yang lebih aman. Seorang warga dilaporkan hilang terseret derasnya arus sungai,” tambah Iwang. Ia juga mengungkapkan bahwa sebelumnya, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) telah mengeluarkan peringatan dini terkait cuaca ekstrem dan potensi banjir untuk periode 24 Februari hingga 5 Maret 2025. Meskipun hujan yang turun pada hari tersebut melampaui perkiraan, Iwang menegaskan bahwa bencana ini tidak hanya dipicu oleh faktor alam saja.
Menurutnya, salah satu penyebab utama bencana adalah deforestasi dan alih fungsi lahan yang terus terjadi di kawasan Puncak Bogor. “Hutan dan lahan resapan air yang seharusnya menjadi benteng alami terhadap banjir telah berubah menjadi vila, hotel, perumahan, dan pengembangan wisata yang diklaim ramah lingkungan,” ungkap Iwang.
Walhi Jawa Barat mencatat bahwa kerusakan akibat alih fungsi lahan sudah mencapai hampir 45 persen dalam lima tahun terakhir, dan diperkirakan mencapai 65 persen saat ini. “Jika dihitung per hari ini, kerusakan akibat alih fungsi kawasan dapat diperkirakan menjadi 65 persen, atau setengah lebih luas kawasan Puncak Bogor telah mengalami kerusakan yang serius,” jelasnya.
Kerusakan alam yang diakibatkan oleh perubahan fungsi lahan menyebabkan kemampuan tanah dalam menyerap air hujan berkurang drastis, yang memperburuk kondisi saat hujan deras turun. Selain banjir bandang, pada hari yang sama, wilayah Kabupaten Bogor juga dilanda bencana tanah longsor di beberapa lokasi, seperti di Kampung Cipaku Skip Baru dan Jalan Artzimar 1 di Kelurahan Tegal Gundil.
Iwang juga menyoroti bahwa properti dan fasilitas pariwisata yang berkembang pesat turut memperburuk kerusakan ekologis di kawasan tersebut. Banyak pengembang yang diduga sengaja mengabaikan analisis dampak lingkungan (Amdal) demi mengejar keuntungan ekonomi jangka pendek. “Dokumen Amdal hingga UKL-UPL (Upaya Pengelolaan Lingkungan dan Upaya Pemantauan Lingkungan) terkesan hanya dijadikan prasyarat bagi para pengembang untuk mendapatkan izin usaha semata,” katanya.
Selain itu, aktivitas pertambangan pasir dan batu ilegal yang marak di sekitar kawasan juga semakin memperburuk kerusakan tanah. “Sehingga struktur tanah semakin rusak dan rentan terhadap erosi, yang ujung-ujungnya menyebabkan longsor dan banjir bandang,” ucapnya.
Walhi Jawa Barat juga menduga ada kesengajaan dari pemerintah yang terus mengeluarkan izin usaha di kawasan Puncak Bogor, meskipun wilayah tersebut memiliki status sebagai kawasan yang memberikan perlindungan terhadap tanah dan air, serta sebagai resapan air. “Padahal, kawasan ini seharusnya dijaga dengan ketat, bukan justru dieksploitasi untuk kepentingan ekonomi jangka pendek,” ujar Iwang.
Lebih lanjut, Iwang menyatakan bahwa kurangnya pengawasan terhadap tata guna lahan di kawasan Puncak Bogor menyebabkan kerusakan lingkungan yang berujung pada bencana ekologis, seperti banjir dan longsor. “Masih banyak bangunan yang didirikan tidak sesuai dengan rencana tata ruang wilayah,” tuturnya. “Sementara upaya konservasi dan pemulihan lingkungan masih sangat minim dilakukan oleh pengembang, termasuk pemerintah,” pungkasnya.
Dengan kerusakan yang semakin parah, bencana alam seperti banjir bandang yang melanda Kabupaten Bogor dan sekitarnya hanya akan semakin sering terjadi jika tidak ada tindakan tegas dari semua pihak untuk menghentikan perusakan alam dan memperbaiki tata kelola lingkungan.