Jakarta, Portonews.com – Ada kisah kelam yang tersembunyi di balik industri perikanan global yang menguntungkan, yaitu kisah tentang nelayan migran Indonesia yang dieksploitasi, namun kini mereka bangkit untuk memperjuangkan keadilan. Dengan dukungan dari Greenpeace Indonesia dan Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI), mereka menggugat raksasa makanan laut Bumble Bee Foods, membuka jalan bagi perjuangan keadilan yang penuh harapan.
Greenpeace Indonesia dan Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) menyampaikan dukungan penuh serta solidaritas mereka terhadap sekelompok nelayan migran Indonesia yang menggugat perusahaan asal Amerika Serikat (AS), Bumble Bee Foods, pada Rabu, (12/3) lalu. Gugatan ini diajukan berdasarkan Undang-Undang Reautorisasi Pelindungan Korban Perdagangan Manusia (TVPRA), yang menyoroti dugaan praktik kerja paksa dan perdagangan manusia yang dialami para nelayan migran tersebut saat bekerja di kapal penangkap ikan tuna.
Menurut gugatan yang diajukan, para penggugat mengungkapkan adanya kekerasan fisik dan emosional, cedera parah yang tidak mendapat perawatan medis hingga menyebabkan kecacatan, utang yang membelenggu, jam kerja yang melebihi batas, hingga gaji yang tidak dibayar. Mereka juga mengungkapkan adanya ancaman finansial terhadap keluarga mereka. Praktik-praktik ini diduga terjadi di kapal-kapal yang menangkap ikan tuna yang hasilnya kemudian dijual oleh Bumble Bee Foods di AS.
Gugatan ini dipercaya menjadi yang pertama kali diajukan terhadap industri makanan laut di AS berdasarkan TVPRA. SBMI dan Greenpeace Indonesia menganggap langkah para nelayan migran ini sebagai momen penting dalam perjuangan menegakkan keadilan bagi Awak Kapal Perikanan (AKP) migran Indonesia yang rentan terhadap eksploitasi dalam industri perikanan global. Dalam beberapa tahun terakhir, kedua organisasi ini telah melakukan berbagai investigasi mendalam dan mendorong perubahan regulasi untuk melindungi AKP migran Indonesia.
Hariyanto Suwarno, Ketua Umum SBMI, menjelaskan bahwa praktik kerja paksa yang dialami oleh AKP migran Indonesia terjadi tidak hanya selama mereka bekerja di kapal, tetapi juga sejak proses perekrutan hingga setelah mereka pulang ke tanah air. “Proses perekrutan yang eksploitatif menjadi akar masalah utama, mulai dari biaya tinggi yang tidak transparan, penampungan yang tidak manusiawi, hingga penipuan dan pemalsuan dokumen yang mengarah pada berbagai bentuk eksploitasi,” tegas Hariyanto.
SBMI melaporkan bahwa selama periode 2010-2024, mereka menerima 943 aduan terkait AKP migran, dengan 196 aduan di tahun 2024. Mayoritas aduan tersebut terkait dengan dugaan kerja paksa dan perdagangan manusia, termasuk gaji yang tidak dibayar, kekerasan, pemutusan hubungan kerja secara sepihak, dan penundaan keberangkatan.
Eksploitasi terhadap para nelayan migran ini sering berlangsung selama berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun, dan Hariyanto menekankan pentingnya meminta pertanggungjawaban dari pihak-pihak yang memanfaatkan kondisi tersebut untuk meraup keuntungan yang tidak manusiawi.
Industri makanan laut secara global bernilai lebih dari USD 350 miliar. Bumble Bee Foods, yang dimiliki oleh perusahaan Taiwan Fong Chun Formosa (FCF), tercatat memiliki pendapatan tahunan sebesar USD 1 miliar. Meskipun perusahaan ini menghasilkan pendapatan yang luar biasa, nelayan migran Indonesia yang bekerja di kapal-kapal Taiwan dilaporkan dijanjikan gaji sebesar USD 400-600 per bulan, namun sering kali gaji tersebut dipotong atau bahkan tidak dibayar, sebagaimana diungkapkan dalam laporan Greenpeace Asia Tenggara dan SBMI pada 2024.
Dalam gugatan ini, Bumble Bee Foods diduga mengetahui, atau seharusnya mengetahui, kondisi yang dialami para nelayan migran dan mendapat keuntungan dari praktik kerja paksa serta perdagangan manusia. Greenpeace, bersama dengan SBMI, telah lama memperingatkan soal pelanggaran hak asasi manusia di industri perikanan skala besar ini, yang juga berimbas pada kerusakan lingkungan.
Fildza Nabila Avianti, Juru Kampanye Laut Greenpeace Indonesia, mengungkapkan bahwa perlindungan terhadap ekosistem laut harus dipandang sebagai satu kesatuan dengan perlindungan hak asasi pekerja laut, termasuk nelayan migran. “Perubahan sistem yang menyeluruh sangat diperlukan, dan Indonesia berpeluang menjadi pelopor dalam hal ini. Jika Indonesia berkomitmen untuk membenahi tata kelola perekrutan dan penempatan AKP migran serta meningkatkan pengawasan, kita dapat menciptakan rantai pasok yang lebih transparan dan pelindungan laut yang lebih baik,” ujar Fildza.
Langkah hukum ini menandai perjuangan penting untuk mewujudkan keadilan bagi nelayan migran yang selama ini terpinggirkan dan terlupakan dalam industri perikanan global yang sangat menguntungkan.
Sumber : Greenpeace Indonesia