Jakarta, Portonews.com – Dalam upaya memperkuat ketahanan energi dan industri, terutama di sektor petrokimia, yang sangat vital dalam menyediakan bahan baku bagi berbagai sektor industri lainnya, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) memberikan dukungan penuh terhadap rencana Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang akan membangun sejumlah kilang minyak dengan total kapasitas produksi hingga 1 juta barel per hari.
“Kami sangat mendukung pembangunan refinery ini guna penguatan hulu di sektor petrokimia dalam rangka menuju substitusi impor, serta dapat berdampak positif pada penguatan nilai tambah dan investasi, hingga penyerapan tenaga kerja,” kata Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita di Jakarta, Kamis (13/3).
Menteri Perindustrian juga menjelaskan bahwa pembangunan kilang minyak ini bertujuan untuk mengoptimalkan produksi nafta, bahan baku penting untuk berbagai sektor industri. “Kami juga mendukung upaya Kejaksaan Agung untuk melakukan pembenahan tata kelola minyak dalam negeri yang akan bisa mengoptimalkan proses seluruh refinery yang ada di Indonesia untuk menghasilkan BBM dan nafta,” tuturnya.
Menperin optimistis bahwa pembangunan kilang minyak ini akan menjadi pendorong utama dalam mendukung visi pemerintah, khususnya dalam percepatan hilirisasi, serta memberikan dampak signifikan terhadap pertumbuhan industri petrokimia di Indonesia. “Tentu kami akan berkoordinasi dengan Kementerian ESDM dan Kementerian Investasi terkait adanya penambahan refinery ini. Pembangunan refinery tersebut akan disebar di beberapa wilayah Indonesia,” ungkapnya.
Nafta, yang merupakan salah satu fraksi minyak bumi, memiliki peran yang sangat penting dalam industri bensin dan petrokimia. Nafta diproduksi melalui distilasi minyak mentah di Crude Distillation Unit (CDU). Menperin menjelaskan bahwa untuk menghasilkan 1 juta ton nafta per tahun, dibutuhkan sekitar 3,03 juta ton minyak mentah. “Dalam proses cracking tersebut, dari minyak mentah itu akan dihasilkan minimal 20 persen nafta. Ini juga tergantung dari proses pemanasan atau titik didihnya,” ujar Menperin.
Saat ini, Indonesia memiliki enam kilang minyak yang sudah beroperasi, dengan total produksi nafta mencapai 7,1 juta ton per tahun. Namun, kebutuhan nafta nasional mencapai 9,2 juta ton per tahun, yang berarti Indonesia masih mengimpor sekitar 2,1 juta ton. Oleh karena itu, diperlukan peningkatan kapasitas produksi nafta dalam negeri untuk mengurangi ketergantungan pada impor.
Menperin juga menekankan pentingnya produksi nafta dalam negeri, yang dikenal sebagai “mother of petrochemical.” Jika dapat diproduksi di dalam negeri, nafta dan produk petrokimia dapat menghemat sekitar USD 9 miliar per tahun dalam impor. Selain itu, proyek ini juga akan menciptakan lapangan kerja baru dan memperkuat kemandirian bahan baku farmasi dalam negeri.
“Saat ini, terdapat beberapa proyek besar petrokimia yang segera beroperasi dan membutuhkan nafta kurang lebih 8 juta ton per tahun,” tambah Menperin. Untuk mendukung penambahan kilang minyak, Kemenperin telah mengusulkan kepada Kementerian ESDM untuk membangun kilang minyak baru di wilayah Tuban, yang saat ini sudah memiliki pabrik petrokimia, PT TPPI.
PT TPPI sendiri saat ini beroperasi dengan dua mode produksi, yaitu petrokimia dan bahan bakar. Perusahaan ini dirancang untuk menjadi kompleks petrokimia yang terintegrasi, memproduksi produk olefin dan aromatik yang digunakan dalam industri tekstil, farmasi, dan bahan pelarut. Namun, untuk mencapai integrasi yang lebih baik, diperlukan pendirian fasilitas olefin center berbahan baku nafta di kawasan ini. “Artinya, Tuban ini merupakan pusat industri besar, dengan sektor utama meliputi semen, petrokimia, minyak dan gas, serta industri maritim,” jelas Menperin.
Langkah ini juga sejalan dengan proyek yang sedang dikembangkan oleh PT Pertamina, yaitu proyek GRR, yang bertujuan untuk membangun pabrik terintegrasi yang akan mengolah minyak mentah menjadi BBM dan produk petrokimia dengan nilai tambah tinggi.