Jakarta, Portonews.com – Merek fast fashion membanjiri pasar dengan pakaian murah dan tren terbaru dalam jumlah yang tidak berkelanjutan, menciptakan kerusakan lingkungan dan sosial yang sangat besar. Meskipun mereka berusaha melakukan greenwashing (terutama yang melibatkan penggunaan label keberlanjutan untuk aspek lingkungan atau sosial), model bisnis mereka pada dasarnya tidak kompatibel dengan keberlanjutan sejati. Berikut adalah empat alasan utama mengapa fast fashion tidak akan pernah ramah lingkungan.
1. Produksi Berlebihan & Sampah: Siklus Tanpa Henti
Fast fashion berkembang dengan memanfaatkan produksi berlebihan. Merek seperti Shein, Temu, Zara, dan H&M merilis ratusan desain baru setiap minggu, memicu budaya konsumsi berlebihan. Namun, apa yang terjadi dengan pakaian tersebut setelah tren berlalu? Jutaan pakaian berakhir di tempat pembuangan sampah atau dibakar setiap tahun, dengan konsekuensi lingkungan yang menghancurkan. Greenpeace telah secara luas mendokumentasikan krisis sampah yang disebabkan oleh fast fashion. Sebuah penyelidikan baru-baru ini di Ghana menyoroti akibat tragis dari produksi berlebihan ini. Menurut Greenpeace Afrika, pasar barang bekas terbesar di Accra kini menjadi tempat pembuangan pakaian yang tidak dapat dipakai, banyak di antaranya diimpor dari Eropa dan Amerika Utara. Dengan bahan berkualitas rendah yang membuat pakaian tidak dapat dijual kembali, sejumlah besar pakaian dibuang, membentuk gunungan sampah atau dibakar di tempat pencucian umum, melepaskan asap beracun ke atmosfer.
Bahkan merek yang mengklaim menggunakan bahan “daur ulang” pun tidak dapat lolos dari jumlah sampah yang mereka hasilkan. Paradohnya adalah bahwa meskipun pakaian yang katanya ramah lingkungan diproduksi dalam jumlah besar, manfaat lingkungan dari pakaian tersebut terhapuskan. Sirkularitas saja tidak dapat menyelesaikan masalah sampah fast fashion; perubahan sistemik menuju slow fashion adalah satu-satunya solusi yang nyata. Skala sampah fast fashion begitu ekstrem hingga terlihat dari luar angkasa. Di Gurun Atacama, Chili, gunung-gunung pakaian bekas – termasuk pakaian yang tidak terjual dan barang bekas dari AS, Eropa, dan Asia – terus menumpuk. Gambar udara dan satelit mengungkapkan bencana lingkungan di mana sampah fast fashion terakumulasi di salah satu ekosistem paling murni di dunia. Meskipun ada upaya lokal untuk memanfaatkan sebagian sampah, volume yang sangat besar tetap mencengangkan, menunjukkan produksi berlebihan yang tak terhentikan dari industri ini dan ketidakmampuannya dalam mengatasi sampahnya sendiri.
2. Rantai Pasokan yang Membutuhkan Sumber Daya Besar: Biaya Lingkungan yang Tersembunyi
Ketergantungan fast fashion pada bahan-bahan yang memerlukan banyak sumber daya membuatnya secara inheren tidak berkelanjutan. Pertanian kapas mengkonsumsi air dan pestisida dalam jumlah besar, sementara poliester – yang berasal dari bahan bakar fosil – berkontribusi terhadap polusi mikroplastik di lautan dan sungai. Bahkan kain yang disebut “ramah lingkungan” memerlukan proses yang mengonsumsi energi dan perawatan kimiawi yang merusak ekosistem. Industri ini merupakan konsumen air terbesar kedua di dunia, dengan produksi tekstil yang mengonsumsi banyak sekali sumber daya ini. Misalnya, memproduksi sepasang celana jins membutuhkan sekitar 7.000 liter air, sementara sebuah kaos biasa membutuhkan sekitar 2.700 liter – jumlah yang setara dengan konsumsi air oleh seseorang selama 900 hari.
Selain konsumsi, industri mode adalah polutan besar bagi sumber daya air. Pengolahan tekstil menyumbang 20% dari polusi air global, menjadikannya polutan terbesar kedua bagi sumber daya air tawar di planet ini. Proses pewarnaan saja menggunakan 1,7 juta ton berbagai bahan kimia, banyak di antaranya berbahaya dan meninggalkan dampak jangka panjang pada lingkungan.
Sebuah penyelidikan Greenpeace Spanyol melacak perjalanan pakaian bekas yang disumbangkan ke tempat sampah. Dengan mengejutkan, banyak barang yang diekspor ribuan mil jauh daripada didaur ulang dengan benar, menambah jejak karbon yang sudah sangat besar dari industri ini.
Sementara itu, bahan kimia beracun yang digunakan dalam produksi tekstil mencemari sungai dan pasokan air minum di seluruh dunia. Laporan Greenpeace Afrika tentang Fast Fashion, Slow Poison mengungkap bagaimana tekstil yang dibuang meresap zat berbahaya ke tanah dan saluran air di Ghana, yang menimbulkan risiko kesehatan jangka panjang bagi masyarakat setempat.
3. Praktik Tenaga Kerja Eksploitatif: Biaya Sosial dari Pakaian Murah
Keberlanjutan sejati tidak hanya mencakup dampak lingkungan, tetapi juga harus memperhatikan keadilan sosial. Merek fast fashion bergantung pada tenaga kerja dengan upah rendah di negara-negara yang memiliki perlindungan lingkungan dan ketenagakerjaan yang lemah. Pabrik-pabrik di Bangladesh, Vietnam, China, dan banyak negara lainnya terkenal dengan kondisi kerja yang tidak aman, upah yang rendah, dan polusi yang merusak komunitas lokal. Indeks Transparansi Fashion 2023 mengungkapkan bahwa hampir setengah (45%) dari 250 merek fashion besar tidak transparan, dengan banyak di antaranya gagal mengungkapkan fasilitas tempat pakaian mereka dibuat. Kesenjangan gaji antara CEO industri fashion dan pekerja tekstil terus melebar. Bukti semakin banyak bahwa merek besar terlibat dalam praktik yang melanggar dan mengeksploitasi pemasok mereka, dan sedikit yang mengungkapkan bukti bekerja dengan mereka di bawah ketentuan yang adil.
Pada 24 April 2013, gedung Rana Plaza di Savar, Bangladesh, runtuh, mengakibatkan hilangnya setidaknya 1.134 nyawa dan melukai lebih dari 2.500 orang. Bencana ini secara nyata menyoroti biaya manusia yang menghancurkan dari upaya fast fashion untuk memproduksi barang murah dalam waktu cepat, seringkali dengan mengorbankan keselamatan pekerja dan pertimbangan lingkungan. Meskipun beberapa kemajuan telah tercapai dalam meningkatkan kesadaran dan implementasi langkah-langkah keselamatan setelah bencana ini, industri fashion global tetap memproduksi lebih dari 100 miliar pakaian setiap tahunnya, sebagian besar terbuat dari poliester berbasis minyak bumi, yang terus memperburuk degradasi lingkungan dan mempertahankan kondisi kerja yang berbahaya.
4. Mendorong Konsumsi Sekali Pakai: Perangkap Greenwashing
Fast fashion bertahan dengan meyakinkan konsumen untuk membeli lebih banyak daripada yang mereka butuhkan. Shein adalah contoh budaya sekali pakai ini, memproduksi puluhan ribu gaya baru setiap minggu. Sementara merek mencoba memperbaiki citra mereka dengan koleksi “ramah lingkungan,” model bisnis dasar mereka tetap tidak berubah.
Greenpeace Internasional mengecam greenwashing ini, berpendapat bahwa merek-merek memasarkan lini fashion yang diklaim berkelanjutan, sementara terus memproduksi miliaran pakaian setiap tahun. Keberlanjutan sejati menuntut perubahan dari produksi dan konsumsi berlebihan, namun merek fast fashion enggan mengadopsi model ini karena dapat mengancam keuntungan mereka. Shein telah menjadi wajah dari hyper-fast fashion, tetapi bukannya mengubah praktik eksploitatifnya, merek ini malah menginvestasikan banyak dana untuk melobi kebijakan yang menguntungkan mereka. Di Uni Eropa, Shein telah melibatkan mantan Komisaris Eropa untuk Anggaran dan Ekonomi Digital, politisi Jerman Günther Oettinger, untuk mempengaruhi regulasi yang menguntungkan perusahaan ini. Oettinger telah bekerja di belakang layar untuk melindungi model bisnis Shein dari kebijakan Uni Eropa yang lebih ketat, menimbulkan kekhawatiran atas pengaruh korporasi dalam pembuatan kebijakan.
Begitu pula di Prancis, mantan menteri pemerintahan Emmanuel Macron, Christophe Castaner, baru-baru ini dipekerjakan sebagai pelobi untuk Shein, meskipun perusahaan ini telah banyak dikritik karena kerusakan lingkungan dan sosial yang mereka lakukan. Kasus-kasus ini menunjukkan bagaimana Shein secara strategis merekrut mantan pejabat tinggi untuk membentuk regulasi yang mengutamakan kepentingan perusahaan daripada keberlanjutan.
Menatap Masa Depan: Menolak Fast Fashion dan Menerima Pakaian Bekas serta Perbaikan
Meskipun tantangan ini ada, para aktivis dan gerakan akar rumput terus berjuang untuk menuntut pertanggungjawaban fast fashion atas kerusakan lingkungannya. Para pecinta lingkungan dan kampanye terus mengajak untuk mengutuk praktik fast fashion yang merusak. Pada akhirnya, fast fashion tidak akan pernah benar-benar ramah lingkungan. Model bisnisnya dibangun atas dasar eksploitasi – terhadap sumber daya, pekerja, dan konsumen. Alih-alih terjebak dalam taktik greenwashing, kita harus mendorong perubahan sistemik, dengan menerima slow fashion dan menolak konsumsi berlebihan. Sebelum membeli sesuatu yang tidak kita butuhkan, mari kita tanyakan pada diri kita sendiri, apakah kita benar-benar membutuhkannya? Berbagi, memperbaiki, dan pakaian bekas harus menjadi kebiasaan baru.
Masa depan fashion harus mengutamakan orang dan planet, bukan keuntungan.
Sumber : Greepeace International