Jakarta, Portonews.com – Isu ketahanan energi nasional telah menjadi fokus utama yang terus diperjuangkan oleh pemerintah Indonesia, terutama dalam konteks transisi energi serta pemanfaatan maksimal sumber daya alam yang ada. Salah satu alternatif energi yang dipandang mampu memperkuat ketahanan energi nasional adalah gas bumi, yang diyakini dapat mendukung terwujudnya swasembada energi.
Hal ini terungkap dalam diskusi yang diselenggarakan oleh Energy for Transition (EITS) dengan tema “EITS Discussion Series 2025,” yang mengangkat topik “Memacu Infrastruktur Gas Menuju Swasembada Energi” pada Rabu (26/2) di, Jakarta.
Diskusi ini melibatkan berbagai pemangku kepentingan di sektor energi yang membahas strategi percepatan pembangunan infrastruktur gas sebagai langkah mendukung ketahanan energi nasional. Beberapa tokoh penting yang hadir antara lain Direktur Infrastruktur Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM, Laode Sulaeman, Kepala Divisi Program dan Komunikasi SKK Migas, Hudi Suryodipuro, Kepala Grup Engineering dan Teknologi PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN), Suseno, serta Anggota Dewan Energi Nasional (DEN), Abadi Poernomo.
Laode Sulaeman, yang menjabat sebagai Direktur Infrastruktur Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM, menegaskan bahwa gas bumi memiliki peran vital dalam menjaga ketahanan energi nasional.
“Dinamika global yang terus berkembang mendorong kita untuk memanfaatkan sumber daya alam yang kita miliki, seperti gas bumi, guna mendukung ketahanan energi nasional,” ujar Laode.
Sebagai salah satu pencapaian penting dalam pengelolaan gas bumi Indonesia, angka lifting gas bumi tercatat mencapai 5.481 mmscf/d, dengan 3.881 BBTUD atau sekitar 67,08% dari total lifting gas bumi nasional dimanfaatkan untuk penyaluran gas domestik pada tahun 2024.
“Gas ini sudah sampai ke level masyarakat, baik yang berpenghasilan rendah maupun tinggi, dan kami terus memperluas jangkauannya untuk memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat,” tambah Laode.
Meskipun demikian, Laode mengakui bahwa transisi energi bukanlah perkara yang mudah. Beberapa tahun lalu, pemerintah merencanakan pengurangan pembangkit berbasis batu bara, namun kebijakan tersebut harus disesuaikan dengan dinamika yang berkembang.
“Transisi energi penuh tantangan, namun kami terus berusaha untuk menemukan solusi terbaik, termasuk melalui kolaborasi dari berbagai pihak,” jelas Laode.
Untuk mendukung transisi ini, pemerintah telah merencanakan pembangunan infrastruktur gas yang meliputi jaringan transmisi dan distribusi gas bumi nasional. “Pipa transmisi gas menjadi prioritas utama, terutama di Pulau Jawa dan Sumatera, yang akan menjadi tulang punggung distribusi gas,” ungkapnya.
Laode juga menyatakan bahwa gas bumi tidak hanya menjadi solusi energi utama saat ini, tetapi juga akan tetap menjadi sumber energi yang stabil di masa depan. Pandangan dari International Energy Agency (IEA) menunjukkan bahwa hingga 2050, gas bumi akan tetap menjadi sumber energi utama, sementara minyak dan batu bara diperkirakan akan mengalami penurunan.
“Negara-negara di seluruh dunia, termasuk Indonesia, masih mengandalkan gas bumi untuk mendukung ketahanan energi mereka selama transisi energi global,” tambah Laode.
Sementara itu, Hudi Suryodipuro, Kepala Divisi Program dan Komunikasi SKK Migas, menekankan pentingnya gas bumi dalam mendukung cita-cita Presiden Prabowo Subianto terkait swasembada energi. “Gas bumi memiliki peran strategis dalam mendukung hilirisasi dan industrialisasi yang akan meningkatkan nilai tambah di dalam negeri,” ujarnya.
Hudi juga menegaskan bahwa Indonesia masih memiliki potensi besar dalam pengembangan gas, dengan lebih dari 50% penemuan lapangan baru dalam dekade terakhir berfokus pada gas. Namun, tantangan terbesar tetap pada pengembangan infrastruktur.
“Pengembangan infrastruktur gas untuk memenuhi kebutuhan domestik, baik untuk pembangkit listrik, industri, maupun rumah tangga, sangat krusial,” kata Hudi.
Pemerintah terus berupaya mendorong pembangunan jaringan pipa gas, terutama di wilayah yang belum terhubung, seperti Sumatera dan Indonesia Timur. Selain itu, gas bumi juga tetap menjadi bagian penting dalam transisi energi.
“Gas bumi adalah energi transisi yang dapat mengurangi ketergantungan pada energi fosil lainnya, seperti batu bara dan minyak bumi,” lanjut Hudi.
Optimisme terhadap perkembangan industri gas Indonesia semakin kuat, terutama dengan temuan besar di Sumatera Utara dan Selat Makassar yang menarik minat investor asing. “Ini adalah era gas,” tutup Hudi, menggarisbawahi potensi besar yang dimiliki Indonesia dalam mengoptimalkan gas bumi sebagai salah satu sumber energi utama di masa depan.
Suseno, Kepala Grup Engineering dan Teknologi PGN, juga berbicara tentang pentingnya kolaborasi antara sektor hulu dan hilir untuk memastikan ketersediaan serta keberlanjutan energi gas bumi di Indonesia.
“Peran PGN adalah menyediakan energi gas bumi yang bersih untuk berbagai sektor industri, yang pada gilirannya akan mendukung pertumbuhan ekonomi nasional,” jelas Suseno.
Dia juga menyoroti pentingnya pembangunan infrastruktur gas bumi, seperti terminal LNG dan jaringan pipa gas yang telah mencapai lebih dari 33.000 km di seluruh Indonesia. PGN berkomitmen untuk memperkuat kapasitas infrastruktur ini demi mengantisipasi tantangan pasokan gas yang mungkin timbul di masa depan.
“Pembangunan jaringan gas dan terminal LNG sangat penting untuk memastikan pasokan energi yang cukup, terutama di wilayah yang belum terjangkau jaringan gas. Ini juga merupakan bagian dari upaya PGN untuk mengintegrasikan komoditas energi dengan sektor-sektor lain guna meningkatkan efisiensi biaya,” tambah Suseno.
Sementara itu, Abadi Poernomo, Anggota Dewan Energi Nasional, menekankan pentingnya perencanaan jangka panjang dalam transisi energi Indonesia. Ia menjelaskan bagaimana Dewan Energi Nasional berperan dalam merumuskan kebijakan energi, termasuk pengembangan energi terbarukan dan pengurangan ketergantungan pada energi fosil.
“Peran energi fosil, terutama gas, masih sangat besar dalam mendukung kebutuhan energi nasional. Namun, kami juga berfokus pada pengembangan energi terbarukan untuk memastikan ketahanan energi Indonesia di masa depan,” ungkap Abadi.
Meski transisi menuju energi hijau menjadi prioritas, sektor gas tetap memainkan peran krusial, terutama dalam pembangkit listrik dan industri. Abadi juga mengingatkan bahwa transisi energi harus dilakukan secara bertahap, mengingat ketergantungan Indonesia pada energi fosil yang masih cukup besar.
“Pembangkit listrik berbasis batu bara harus menjadi lebih bersih di masa depan, sementara gas alam tetap menjadi bagian penting dalam pembangunan energi Indonesia,” tambahnya.
Abadi mengingatkan bahwa pengurangan energi fosil harus dilakukan secara terencana agar Indonesia dapat mencapai target emisi nol pada tahun 2060.
“Kami berharap dalam beberapa tahun ke depan, Indonesia akan mampu mengurangi ketergantungan pada energi fosil dan meningkatkan pemanfaatan energi terbarukan, dengan tetap menjaga kestabilan ekonomi dan industri,” katanya.
Secara keseluruhan, para pembicara sepakat bahwa kolaborasi antara pemerintah, BUMN, dan sektor swasta sangat penting untuk memastikan keberhasilan transisi energi Indonesia. Mereka juga menekankan perlunya investasi besar dalam infrastruktur energi, baik untuk jaringan gas, terminal LNG, maupun pengembangan energi terbarukan, agar Indonesia dapat mencapai target ketahanan energi dan emisi nol pada tahun 2060.