Jakarta, Portonews.com – Setelah beberapa hari sempat terjadi kelangkaan Liquified Petroleum Gas (LPG) 3 kilogram di pasaran, akhirnya distribusi bahan bakar rumah tangga yang dikenal dengan nama “gas melon” ini kembali normal. Menteri Koordinator Bidang Pangan, Zulkifli Hasan, menyampaikan bahwa normalisasi distribusi gas LPG 3 kg dapat tercapai berkat intervensi langsung dari Presiden Prabowo Subianto.
Dalam kunjungannya ke Pasar Klender, Jakarta Timur, Zulkifli Hasan memastikan bahwa masyarakat kini dapat kembali membeli LPG 3 kg dengan mudah tanpa kendala. “Alhamdulillah, gas LPG 3 kg sudah lancar, kembali normal, setelah ada perintah Bapak Presiden. Sekarang ibu-ibu di pasar bisa mendapatkan gas kapan saja,” ujar Zulhas kepada awak media, Rabu (5/2).
Namun, di balik kabar baik tersebut, langkah Presiden untuk menginstruksikan pengaktifan kembali pengecer menimbulkan sejumlah pertanyaan. Apakah kebijakan ini merupakan solusi jangka panjang atau hanya langkah panik untuk meredam keresahan masyarakat?
Sebelumnya, pada awal Februari 2025, pemerintah mengeluarkan aturan baru yang melarang pengecer menjual LPG 3 kg. Gas bersubsidi ini hanya boleh dijual melalui pangkalan resmi yang memiliki regulasi ketat. Tujuannya adalah memastikan subsidi tepat sasaran, menghindari kebocoran, dan mencegah spekulasi harga. Namun, kebijakan ini justru menciptakan kelangkaan, antrean panjang, dan keresahan di tengah masyarakat.
Tidak lama setelah itu, pada Senin (3/1), Presiden Prabowo Subianto menginstruksikan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia untuk mengaktifkan kembali pengecer sebagai saluran distribusi. “Setelah komunikasi dengan Presiden, beliau memerintahkan agar pengecer-pengecer yang sebelumnya dilarang dapat kembali berjualan,” ujar Wakil Ketua DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad.
Instruksi tersebut langsung diikuti oleh langkah teknis dari Kementerian ESDM dan PT Pertamina. Para pengecer kini diubah statusnya menjadi sub-pangkalan agar dapat kembali menjual LPG 3 kg secara sah dengan harga yang telah diatur.
Langkah cepat ini mendapat respons positif dari masyarakat, khususnya kalangan ibu rumah tangga yang sempat kesulitan mendapatkan LPG. Menurut Zulhas, para ibu di Pasar Klender menyampaikan ucapan terima kasih kepada Presiden atas kebijakan ini. Mereka merasa lega karena tidak perlu lagi antre panjang di pangkalan resmi.
Anggota Komisi VI DPR RI, Rivqy Abdul Halim, juga mengapresiasi langkah sigap Presiden Prabowo. “Ini adalah langkah yang sangat tepat. Presiden tidak ingin masyarakat terus-menerus kesulitan mendapatkan gas melon yang menjadi kebutuhan utama mereka,” ungkap Rivqy.
Meski begitu, Rivqy memberikan catatan penting kepada PT Pertamina dan Kementerian ESDM agar lebih berhati-hati dalam menyusun kebijakan terkait LPG 3 kg. Menurutnya, kebijakan yang tidak matang dapat menyebabkan efek domino, seperti panic buying atau aksi penimbunan oleh pihak tak bertanggung jawab.
“Kebijakan ini awalnya untuk memastikan subsidi tepat sasaran, tetapi jika tidak dikelola dengan baik, justru bisa menjadi bumerang,” tambahnya.
Pengaktifan kembali pengecer memang berhasil mengatasi kelangkaan dalam waktu singkat. Namun, banyak pihak menilai langkah ini lebih mencerminkan upaya panik pemerintah dalam menghadapi keresahan publik, ketimbang solusi strategis jangka panjang.
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mengkritik kebijakan yang berubah-ubah ini. Menurut YLKI, perubahan aturan dalam waktu singkat mencerminkan lemahnya perencanaan pemerintah dalam mengelola distribusi barang bersubsidi. “Masyarakat jadi bingung. Sebentar ada aturan baru, sebentar kemudian aturan itu dicabut lagi,” ujar salah satu perwakilan YLKI.
Selain itu, para ahli ekonomi juga menyoroti bahwa kebijakan pengaktifan pengecer hanya bersifat reaktif. Langkah ini dianggap tidak menyelesaikan akar masalah, yakni ketidakefisienan sistem distribusi dan pengawasan subsidi.
Masalah utama LPG 3 kg sebenarnya terletak pada distribusi dan pengawasan. Sebagai barang bersubsidi, LPG 3 kg sering kali menjadi objek penyalahgunaan, baik oleh pelaku usaha yang tidak berhak maupun oleh oknum yang menimbun untuk mendapatkan keuntungan lebih besar.
Salah satu solusi yang ditawarkan pemerintah adalah mengubah pengecer menjadi sub-pangkalan. Sub-pangkalan ini diharapkan dapat lebih mudah diawasi dan memiliki tanggung jawab yang jelas dalam mendistribusikan gas sesuai harga eceran tertinggi (HET).
Namun, para pengamat menilai bahwa efektivitas sub-pangkalan masih perlu diuji. Jika pemerintah tidak serius dalam melakukan pengawasan, maka sistem baru ini akan menghadapi tantangan yang sama seperti sebelumnya.
Pengawasan adalah kunci. Pemerintah harus memastikan bahwa subsidi benar-benar dinikmati oleh masyarakat yang berhak. Jangan sampai ada pihak yang memanfaatkan kelemahan sistem untuk mencari keuntungan pribadi.
Masalah LPG 3 kg tidak hanya terkait distribusi, tetapi juga keberlanjutan subsidi itu sendiri. Dalam beberapa tahun terakhir, anggaran subsidi energi, termasuk LPG, terus meningkat. Pemerintah harus mencari cara untuk menjaga keseimbangan antara memberikan bantuan kepada masyarakat miskin dan mengurangi beban anggaran negara.
Beberapa alternatif yang pernah diusulkan adalah penggunaan sistem subsidi berbasis data penerima manfaat atau digitalisasi distribusi. Dengan teknologi, pemerintah dapat memastikan bahwa subsidi benar-benar tepat sasaran tanpa harus bergantung pada saluran distribusi tradisional yang rawan penyalahgunaan.
Namun, implementasi teknologi juga memiliki tantangan tersendiri, terutama di daerah-daerah yang infrastruktur digitalnya masih terbatas.
Kebijakan distribusi LPG 3 kg mencerminkan dilema klasik dalam pemerintahan: bagaimana memberikan subsidi secara efektif tanpa menciptakan distorsi di pasar? Normalisasi distribusi saat ini memang membawa kelegaan sementara bagi masyarakat, tetapi pemerintah tidak boleh berhenti di situ.
Langkah selanjutnya harus lebih terencana dan strategis. Pemerintah perlu mengevaluasi seluruh sistem distribusi, memperbaiki data penerima subsidi, dan memperkuat pengawasan. Selain itu, edukasi kepada masyarakat juga penting untuk memastikan pemahaman yang baik tentang tujuan subsidi dan mekanisme distribusinya.
Jika tidak, kebijakan LPG 3 kg akan terus menjadi lingkaran masalah yang berulang: kelangkaan, kebijakan baru, lalu kembali ke pola lama. Hal ini tidak hanya membebani pemerintah, tetapi juga menciptakan ketidakpastian bagi masyarakat.
Krisis distribusi LPG 3 kg yang baru-baru ini terjadi menjadi pengingat penting bagi pemerintah untuk lebih serius dalam menangani isu-isu energi bersubsidi. Intervensi Presiden Prabowo Subianto berhasil mengatasi masalah secara sementara, tetapi solusi jangka panjang masih diperlukan.
Dengan tata kelola yang lebih baik, pengawasan ketat, dan inovasi teknologi, pemerintah dapat menciptakan sistem distribusi LPG yang lebih efisien dan berkeadilan. Namun, jika masalah-masalah mendasar tidak diselesaikan, krisis serupa kemungkinan besar akan terulang kembali di masa depan.
Sebagai negara dengan kebutuhan energi yang terus meningkat, Indonesia membutuhkan pendekatan yang lebih cerdas dan adaptif dalam mengelola subsidi energi. Semoga krisis ini menjadi pelajaran berharga untuk perbaikan di masa mendatang.