Jakarta, Portonews.com – Keputusan pemerintah yang tampaknya ragu-ragu terkait pensiun dini PLTU mencerminkan ketidakjelasan arah transisi energi di Indonesia. Pernyataan Menteri ESDM, Bahlil Lahadalia, yang mengungkapkan bahwa anggaran negara terbatas untuk mendukung program pensiun dini PLTU justru menimbulkan kekhawatiran tentang komitmen pemerintah terhadap langkah-langkah konkret dalam mengurangi emisi dan mencapai target net zero. Menurut Bondan Andriyanu, Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, “Jika pemerintah serius dengan transisi energi, maka seharusnya anggaran negara dan kebijakan fiskal diarahkan untuk mendukung pengembangan energi terbarukan, bukan terus memberi subsidi pada batu bara,” ungkapnya.
Selama ini, sektor batu bara terus mendapat berbagai insentif, seperti royalti nol persen dan skema DMO (Domestic Market Obligation), yang justru memperpanjang operasional PLTU Batubara. Hal ini semakin diperburuk dengan pembatalan penerapan pajak karbon bagi PLTU yang seharusnya berlaku. Menurut Bondan, hal tersebut sangat disayangkan karena penerapan pajak karbon bisa menjadi indikator keseriusan Pemerintah dalam melakukan transisi energi.
Namun, keterbatasan anggaran negara semakin memperjelas pentingnya dukungan pembiayaan swasta untuk mempercepat transisi energi di Indonesia. Pernyataan yang kontradiktif mengenai masalah ini, menurut Bondan, justru menambah kebingungannya lembaga keuangan global yang sangat dibutuhkan untuk mendukung transisi energi. “Sikap tidak konsisten ini dapat merusak kepercayaan para investor dan semakin memperlambat laju investasi bagi transisi energi,” tambahnya.
Pernyataan Menteri ESDM yang menyarankan Indonesia mengikuti langkah Amerika Serikat yang berencana keluar dari Perjanjian Paris pada 2025 juga dinilai keliru. Bondan menegaskan bahwa Indonesia seharusnya melihat situasi ini sebagai kesempatan untuk memperkuat kerja sama dengan negara-negara maju lain yang masih berkomitmen pada transisi energi. “Alih-alih menjadikan keluarnya AS sebagai alasan untuk memperlambat transisi energi, Indonesia harus mengambil peluang untuk mencari dukungan lebih besar dari negara-negara maju lainnya yang tetap berkomitmen untuk dekarbonisasi sektor energi, seperti Uni Eropa, Jepang, bahkan China,” kata Bondan.
Sikap Menteri ESDM ini juga kontradiktif dengan pesan yang disampaikan oleh Presiden Prabowo di forum G20, di mana Presiden menekankan bahwa transisi energi adalah prioritas utama bagi Indonesia. “Jika pemerintah ingin mempertahankan kredibilitasnya di mata dunia, maka kebijakan transisi energi harus dijalankan dengan konsisten, bukan dengan sinyal yang membingungkan,” ungkap Bondan.
Untuk itu, pemerintah seharusnya tidak hanya bergantung pada pendanaan luar negeri, tetapi juga mengambil langkah-langkah kebijakan yang progresif untuk mendukung pensiun dini PLTU Batubara. Ini termasuk mengalihkan subsidi energi fosil ke energi bersih, memperketat standar emisi PLTU, serta mempercepat reformasi sektor kelistrikan agar lebih kompetitif bagi energi terbarukan. Pemerintah juga perlu memastikan transisi energi yang adil bagi masyarakat yang terdampak.
Apabila pemerintah terus memberikan pernyataan yang bertentangan dengan komitmen transisi energi Indonesia yang telah disampaikan di forum internasional, maka transisi energi di Indonesia hanya akan menjadi janji kosong. Sementara itu, dampak dari krisis iklim dan polusi udara yang terus memburuk akan terus merugikan masyarakat.