Jakarta, Portonews.com – Kebijakan proteksionisme yang diterapkan Presiden AS Donald Trump berpotensi menciptakan peluang ekspor tambahan bagi Indonesia, khususnya untuk menggantikan porsi impor asal China. Hal tersebut diungkapkan Research Associate CORE Indonesia, Sahara, dalam diskusi Outlook Ekonomi Sektoral 2025, di Jakarta, Selasa (21/1).
Sahara menyebut analisis menggunakan model keseimbangan umum antarnegara (Global Trade Analysis Project/GTAP) menunjukkan bahwa skenario proteksionisme Trump dengan penerapan tarif sebesar 60 persen untuk semua produk impor dari China serta tarif global 10 persen bagi seluruh negara, justru membuka celah bagi Indonesia.
“Bagi Indonesia, ini cukup positif. Ada kesempatan menambah ekspor. Proyeksi ekspor bisa naik 0,0427 persen,” ujar Sahara.
Ia menambahkan, hasil perhitungan GTAP juga memproyeksikan peningkatan investasi di Indonesia sebesar 0,0471 persen dan kenaikan Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 0,0020 persen. Di sisi lain, skenario tarif global 10 persen dapat mengakibatkan penurunan ekspor Indonesia ke AS pada beberapa sektor, seperti produk kulit (turun 4,21 persen) dan pakaian (wearing apparel) (turun 3,04 persen).
Meski demikian, Sahara menuturkan bahwa Indonesia juga memiliki potensi meningkatkan ekspor ke China, atau terjadi semacam peralihan perdagangan (trade diversion) menuju pasar China akibat kebijakan proteksionisme AS. Peluang tersebut khususnya untuk beberapa komoditas seperti plant-based fibers (naik 3,83 persen), leather products (2,79 persen), dan produk farmasi dasar (1,78 persen).
Kendati ada prospek positif terkait ekspor dan investasi, terdapat risiko lonjakan impor sebesar 0,1456 persen. Menurut Sahara, hal ini bisa disebabkan oleh kelebihan pasokan (over supply) di China. Ketika China memiliki surplus barang, negara tersebut akan menjual dengan harga obral, sehingga komoditasnya berpotensi membanjiri pasar Indonesia.
“Bisa juga perusahaan dari China pindah memproduksi di luar negeri. Namun, Trump sudah menegaskan akan mengenakan tarif tinggi tidak hanya ke China, tapi juga bagi perusahaan China yang memproduksi di luar negeri,” papar Sahara.
Ia mengingatkan bahwa peningkatan impor ini dapat memunculkan risiko terhadap neraca perdagangan Indonesia, sehingga pemerintah dan pelaku bisnis perlu bersiap dalam menghadapi kemungkinan banjir produk China di pasar domestik.