Jakarta, Portonews.com – Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, memastikan bahwa Amerika Serikat (AS) memahami langkah Indonesia untuk bergabung secara resmi dengan kelompok BRICS (Brasil, Rusia, India, China, Afrika Selatan). Pemahaman itu disampaikan setelah Presiden Prabowo Subianto melakukan pertemuan di Gedung Putih pada Selasa (12/11/2024).
“Amerika (AS) kalau mau marah atau tidak, relatif. Namun, dalam hal ini mereka sudah paham, karena saat Presiden (Prabowo) ke Washington, hal ini (keanggotaan BRICS) sudah dibahas secara jelas,” ujar Airlangga dalam acara BNI Investor Daily Round Table di Jakarta, Rabu (15/1).
Airlangga menyebut, Gedung Putih juga mendukung proses Indonesia untuk bergabung dengan Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD). Ia menekankan bahwa hubungan ekonomi bilateral Indonesia dan AS tetap kuat melalui kerangka kerja Indo-Pacific Economic Framework (IPEF). Indonesia telah menandatangani tiga dari empat pilar IPEF dan perjanjian itu pun sudah diratifikasi Presiden Prabowo.
Menjelang pelantikan Donald Trump sebagai Presiden AS pada 20 Januari mendatang, sejumlah pemangku kepentingan sempat mengkhawatirkan dinamika geopolitik antara AS dan China bakal berdampak pada kebijakan perdagangan global. Menurut Airlangga, Indonesia mengantisipasi hal ini dengan langkah-langkah strategis, salah satunya melalui Critical Mineral Alliance.
“Tentu kita sedang mempersiapkan Critical Mineral Alliance. Amerika sebelumnya menawarkan kerja sama critical mineral bilateral, namun kami melihat peluang untuk diperluas dengan Kanada dan Australia,” jelasnya.
Selain itu, AS menunjuk Indonesia sebagai satu dari tujuh negara yang dapat mengembangkan ekosistem semikonduktor. Airlangga menilai peluang ini dapat memperkuat posisi Indonesia dalam rantai pasok teknologi global.
Kendati demikian, Airlangga mengingatkan masih adanya tantangan, di antaranya akses pasar Indonesia ke AS yang dikenakan tarif masuk sekitar 10–20 persen pada sejumlah komoditas ekspor seperti garmen dan alas kaki.
“Seluruh barang Indonesia masih dikenakan tarif 10–20 persen. Kita tetap bisa masuk pasar AS, tapi situasinya berbeda dengan Vietnam yang ‘zero tariff’,” tuturnya.