Jakarta, Portonews.com — Rapat Paripurna DPR RI menyetujui Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (RUU BUMN) menjadi undang-undang.
Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir menyebut pembentukan Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara) telah disetujui dalam Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN.
Erick menyebutkan BPI Danantara akan melakukan pengelolaan BUMN baik secara operasional maupun mengoptimalkan pengelolaan dividen dalam rangka membantu tugas pemerintah.
“BPI Danantara akan melakukan pengelolaan BUMN baik secara operasional maupun di dalamnya mengoptimalkan pengelolaan dividen dalam rangka membantu pemerintah dalam mengujudkan target pertumbuhan ekonomi 8 persen yang telah dicanangkan pemerintah,” ujar Erick dalam pidato Rapat Paripurna DPR RI di Jakarta, Selasa (4/2).
Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Sufmi Dasco Ahmad mengatakan bahwa struktur organisasi Badan Pengelola Investasi (BPI) Daya Anagata Nusantara (Danantara) nantinya akan ditetapkan langsung oleh Presiden RI Prabowo Subianto.
“Dewan Pengawas atau apa pun itu nanti akan ditetapkan oleh Presiden sehingga siapa yang akan ditetapkan, kami belum tahu pada saat ini,” kata Dasco kepada wartawan usai menghadiri Rapat Paripurna di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (4/2).
Dasco mengatakan sampai saat ini masih menunggu aturan lebih lanjut terkait peraturan pemerintah (PP) yang juga mengatur soal aset BUMN-BUMN ke depan. Dia menjelaskan Danantara sendiri memiliki tanggung jawab dalam mengoptimalkan investasi BUMN.
Wakil Ketua MPR RI Edhie Baskoro Yudhoyono menegaskan bahwa Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara) perlu memberikan laba yang optimal serta dividen yang tinggi untuk negara.
Ibas menyampaikan pernyataan tersebut sebab BPI Danantara membawahi tujuh badan usaha milik negara (BUMN) dan Indonesia Investment Authority (INA), sehingga memiliki aset sekitar Rp9.480 triliun, dan menjadikannya sebagai Sovereign Wealth Fund (SWF) terbesar keempat di dunia.
“Kita bicara tentang institusi yang mengelola ribuan triliun rupiah, maka saya menekankan pentingnya strategi investasi yang agresif namun tetap prudent dan kolaboratif, sehingga Danantara tidak hanya menjadi lembaga yang mengamankan aset,” kata Ibas dalam keterangannya di Jakarta, Selasa (4/2).
Penasihat Khusus Presiden Bidang Ekonomi Bambang Brodjonegoro berharap Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara) dapat mengupayakan investasi yang lebih agresif untuk merealisasikan berbagai program pembangunan.
“Yang lebih penting, Danantara itu diharapkan bisa melakukan leverage (penggunaan pinjaman dari investor sebagai modal) sehingga bisa melakukan investasi yang lebih agresif untuk proyek-proyek di Indonesia,” ujar Bambang Brodjonegoro di Jakarta, Selasa (4/2).
Ia menuturkan bahwa banyak investor luar negeri yang tertarik untuk menanamkan modalnya di Indonesia, tapi tidak ingin menjalin kerja sama dengan pemerintah karena lebih memilih untuk berkolaborasi business-to-business (B2B) dengan pihak swasta.
Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI), Yusri Usman, menyampaikan kritik terkait rancangan pembentukan BPI Danantara ini terkesan telah ditumpangi konsorsium bandit politik dengan oligarkhi. Menurutnya, badan tersebut seharusnya didesain untuk bertindak secara independen seperti Temasek Holdings di Singapura atau Khazanah Nasional di Malaysia.
“Jika kita melihat draf yang ada, BPI Danantara ini masih sangat kental dengan campur tangan birokrasi. Jalur persetujuan yang panjang, mulai dari direksi, dewan komisaris, Kementerian BUMN, hingga DPR, justru akan menurunkan fleksibilitas badan ini dalam mengeksekusi kebijakan,” ujar Yusri saat diwawancarai, Selasa (4/2).
Ia menambahkan, panjangnya jalur birokrasi ini berpotensi menghambat respons perusahaan terhadap dinamika pasar. “Misalnya, ketika ada peluang investasi yang harus segera diambil oleh direksi BUMN, proses persetujuan yang panjang ini bisa membuat perusahaan kehilangan momentum. Ini jelas bertentangan dengan semangat efisiensi yang diharapkan dari pembentukan BPI Danantara,” tegas Yusri.
Yusri menilai, kondisi ini memperlihatkan bahwa BPI Danantara belum benar-benar independen. “Kalau masih ada intervensi dari pemerintah, maka ini tidak sesuai dengan konsep superholding seperti Temasek atau Khazanah. Seharusnya, pengelolaan BUMN terpisah dari pengaruh pemerintah, agar fokus pada bisnis dan memberikan hasil maksimal kepada negara,” katanya.