Jakarta, Portonews.com – Sejak 2014, Pusat Riset Antariksa Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) telah melakukan pengamatan terhadap satelit menggunakan berbagai instrumen, termasuk binokuler dan kamera digital portabel. Kegiatan ini melibatkan berbagai perangkat lunak, baik yang berbayar maupun gratis, untuk meningkatkan pemahaman mengenai objek-objek yang mengorbit di sekitar Bumi.
Dari tahun 2022 hingga 2024, pengamatan ini semakin terfokus dengan pemanfaatan teleskop untuk melakukan astrometri, yang bertujuan untuk menentukan atau memperbaiki orbit satelit, serta fotometri, yang membantu menentukan kecerlangan dan karakteristik sikap satelit. Koordinator Observatorium Nasional Timau, Abdul Rachman, menekankan pentingnya pengamatan ini dalam konteks sampah antariksa.
“Satelit yang berputar (tumbling) umumnya terjadi pada satelit-satelit yang sudah berakhir masa operasinya sehingga menjadi sampah. Karakteristik sikap ini mencakup arah sumbu rotasi dan lajunya. Informasi ini dibutuhkan dalam upaya mitigasi dampak sampah antariksa,” ujar Abdul dalam sebuah webinar.
Berbeda dengan foto benda astronomi yang seringkali memukau dengan warna-warni indah, foto satelit yang diambil dari teleskop di Bumi biasanya hanya menampilkan garis lurus atau titik berwarna putih di tengah bintang-bintang. Meski begitu, “analisis terhadap garis-garis atau titik-titik itu bisa memberikan informasi yang sangat bermanfaat dari sudut pandang sains maupun sudut pandang praktis,” lanjutnya.
Abdul menjelaskan bahwa perkembangan teknologi satelit dapat dicontohkan melalui tiga jenis satelit. Pertama, Sputnik, satelit pertama yang diluncurkan oleh Rusia pada 1957. Kedua, satelit navigasi dan telekomunikasi yang jauh lebih besar dan kompleks. Dan ketiga, cubesat, satelit kecil yang saat ini banyak diluncurkan ke angkasa. “Teknologi satelit semakin berkembang mulai dari yang sangat sederhana sampai dengan yang paling kompleks,” bebernya.
Selain itu, Abdul menyebutkan bahwa Jaringan Observatorium dan Planetarium Indonesia (JOPI) juga memiliki puluhan teleskop bermotor yang dapat digunakan untuk pengamatan satelit. “Sehingga, fasilitas canggih yang dimiliki tidak hanya digunakan untuk mengamati benda langit alami, tetapi juga satelit buatan. Jadi, manfaat atas keberadaan teknologi ruang angkasa ini bisa terus kita nikmati,” tambahnya.
Sampah antariksa menjadi isu internasional yang setiap tahunnya dibahas dalam forum PBB. Abdul menjelaskan, “Isu sampah antariksa sangat penting karena sampah-sampah ini tidak bisa dikendalikan. Sehingga, bisa saja menabrak satelit yang masih aktif bekerja, dan berakibat pada kerusakan yang bisa saja fatal.”
Saat ini, BRIN sedang menyelesaikan pembangunan teleskop berukuran raksasa dengan diameter cermin 3,8 meter di Observatorium Nasional Timau. Abdul berharap teleskop ini akan meningkatkan kemampuan pengamatan satelit, terutama dalam situasi darurat di mana komunikasi dengan satelit aktif mungkin terputus.
Dalam konteks pengamatan satelit, teknik astrometri, fotometri, dan spektroskopi yang telah lama digunakan dalam astronomi kini juga diterapkan. Untuk itu, teleskop yang digunakan harus memiliki slewing rate tinggi, mengingat satelit dan sampah antariksa termasuk objek yang bergerak cepat.
Dengan langkah-langkah ini, BRIN berkomitmen untuk terus memantau dan memahami dinamika objek-objek luar angkasa, demi keselamatan satelit yang masih aktif dan mitigasi dampak dari sampah antariksa.