Jakarta, Portonews.com – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tengah mempelajari empat proyek pengadaan liquefied natural gas (LNG) oleh PT Pertamina (Persero). Hal ini dilakukan sebagai bagian dari pengembangan penyidikan perkara dugaan korupsi dengan tersangka mantan Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Galaila Karen Kardinah alias Karen Agustiawan.
Direktur Penyidikan KPK Asep Guntur Rahayu di Gedung Merah Putih KPK pada awal Juli 2024 mengatakan empat proyek tersebut adalah hal baru yang KPK temukan pada saat melakukan penyidikan terkait dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Karen Agustiawan. Sudah sebulan lebih ternyata belum ada update terbaru dari empat proyek yang dimaksud.
Benarkah empat proyek itu hal baru yang ditemukan KPK dalam pengembangan kasus Karen Agustiawan?
Ternyata empat proyek tersebut bukanlah temuan baru dari kasus yang telah memberikan vonis 9 tahun penjara kepada Karen Agustiawan. Beberapa kali dalam persidangan Karen Agustiawan dan Tim Kuasa Hukumnya mengungkap terkait empat proyek pengadaan LNG lain yang dilakukan oleh Pertamina yakni: Chevron Rapak, Eni Muara Bakau, Woodside, Total Gas&Power.
Jika KPK konsisten, kerugian yang dialami oleh Pertamina seharusnya juga dianggap sebagai kerugian negara. Dirut Pertamina yang menandatangani perjanjian tersebut seharusnya juga ikut dijadikan tersangka, tapi mengapa hanya Karen Agustiawan saja? Padahal kontraknya sudah dibatalkan dan digantikan oleh kontrak yang ditandatangani oleh Dirut Dwi Soetjipto pada tahun 2015.
Sebagai informasi Dirut Pertamina yang menandatangani empat proyek pengadaan LNG itu yang pengadaannya masih berlaku sampai sekarang yakni sebagai berikut:
- Total Gas&Power pada Februari 2016 oleh Dirut Dwi Soetjipto,
- Chevron Rapak pada Juni 2016 oleh Dirut Dwi Soetjipto,
- Eni Muara Bakau pada Desember 2016 oleh Dirut Elia Massa Manik, dan
- Woodside pada Juni 2017 oleh Dirut Elia Massa Manik.
Dari Grafik Pertamina LNG Trading Performance menunjukan terjadi kerugian Pertamina saat pandemi Covid-19. Kerugian tidak hanya dari pengadaan LNG yang berasal dari Corpus Christi, tetapi juga pengadaan LNG dari Eni Muara Bakau tahun 2019 dan 2020 (Dirut Elia Massa Manik) dan Chevron Rapak tahun 2020 dan 2021 (Dirut Dwi Soetjipto) meskipun secara kumulatif tampak profitnya positif namun secara lebih detailnya ada penjualan kargo yang merugi sehingga profitnya turun drastis di tahun tersebut.
KPK seharusnya tidak tebang pilih dalam mengungkap kerugian negara terkait Pengadaan LNG oleh Pertamina ini. Selain itu KPK harus mampu memisahkan mana kerugian perusahaan dan kerugian keuangan negara. Saat ini semua kontrak pengadaan LNG Pertamina masih berlangsung dan sudah memberikan keuntungan positif dan berkontribusi bagi negara yang disetor lewat pembagian dividen dan pajak buat negara. Tidak Fair jika KPK hanya melihat kerugian yang terjadi disebabkan pandemi covid-19 saja.
REDAKSI