Jakarta, Portonews.com – Lembaga Konsultasi Dan Bantuan Hukum (LKBH) Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta Bersama Pusat Kajian Ketahanan Enegi ndonesia (PKKEI) mengantarkan naskah kajian Amicus Curiae (Sahabat Pengadilan) ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat dengan Terdakwa Galaila Karen Kardinah alias Karen Agustiawan.
Naskah Amicus Curiae ini diserahkan langsung oleh Rektor UP45, Benedictus Renny See didampingi Direktur LKBH, Philiph Joseph Leatemia ke Ruang Panitera PN Tipikor Jakarta Pusat, yang kemudian disusul penyerahan naskah oleh Ketua Umum PKKEI, Syamsul Bachri Yusuf pada Senin (13/5/2024).
Usai menyerahkan naskah Amicus Curiae, Beni sapaan Benedictus mengatakan kebijakan PT Pertamina (Persero) dalam mengadakan Perjanjian Jual Beli (Sales Purchase Agreement/SPA LNG 2013 dan SPA LNG 2014) dengan Corpus Christi Liquefaction, LLC (CCL) adalah guna mengantisipasi ketersedian LNG untuk jangka Panjang Ketahanan dan Bauran Energi yang harus dijaga dan menjadi tanggung jawab PT Pertamina (Persero) sesuai dengan tugas dan wewenangnya.
“Dengan ditandatanganinya Sales Purchase Agreement (SPA) LNG 2015 antara PT Pertamina (Persero) dengan Corpus Christi Liquefaction, LLC (CCL) yang secara langsung mengubah dan menggantikan SPA LNG 2013 dan SPA LNG 2014, maka tanggung jawab Sdr. Ir. Galaila Karen Kardinah (Karen Agustiawan) selaku Direktur Utama PT Pertamina (Pesero) beralih kepada Sdr. Dwi Soetjipto selaku Direktur Utama PT Pertamina (Persero) periode 2014-2017. Dengan demikian apabila dalam perjalanannya yaitu pada tahun 2020 dan 2021 terjadi kerugian, maka sudah bukan menjadi tanggung jawab Sdr. Ir. Galaila Karen Kardinah (Karen Agustiawan),” jelas Beni.
Dia menambahkan perhitungan adanya kerugian keuangan negara yang disampaikan oleh BPK yang berubah-ubah angkanya merupakan indikasi bahwa apa yang disampaikan oleh BPK tentang angka kerugian PT Pertamina (Persero) akibat adanya Sales and Purchase Agreement (SPA) LNG 2015 sebesar USD113,389,186.60 adalah tidak akurat karena proses Sales and Purchase Agreement (SPA) LNG 2015 adalah perjanjian jual dan pembelian jangka Panjang (20 tahun) hingga 2040 yang harganya akan selalu berubah tergantung kondisi pasar, geopolitik, bencana alam, pandemi, kondisi domestik dan lain-lain, bisa untung bisa rugi.
“Bahwa, apa yang menjadi dasar surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) kepada Sdr. Ir. Karen Agustiawan yang mengacu kepada Pasal 2 ayat (1) dan dakwaan Kedua yang mengacu pada Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, di mana unsur-unsur yang terdapat dalam Pasal 2 ayat (1) adalah Pertama “secara melawan hukum; Kedua, memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi; dan ketiga, merugikan keuangan negara atau perekonomian negara” dan unsur-unsur Pasal 3 adalah: a. Secara melawan hukum b. Melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi c. “Dapat” merugikan negara atau perekonomian negara; adalah Tidak Terbukti,” terangnya.
Untuk menambah keyakinan Yang Mulia Majelis Hakim dan memperjelas kasus ini, Benedictus pun menyampaikan permohonan kepada Majelis Hakim Yang Terhormat untuk meminta Jaksa Penuntut Umum (JPU) menghadirkan Sdr. Dwi Soetjipto selaku mantan Direktur Utama PT Pertamina (Persero) periode 2014-2017 dan Sdr. Nicke Widyawati selaku Direktur Utama PT Pertamina (Persero) saat ini.
“Ini untuk menghindari tuduhan fitnah dari Jaksa Penuntut Umum maka mohon Majelis Hakim Yang Terhormat untuk juga menghadirkan manajemen Blackstone, untuk didengar keterangannya terkait kontrak kerja antara Blackstone dengan Sdr. Ir. Galaila Karen Kardinah (Karen Agustiawan) apakah benar atau fiktif,” pungkasnya.
Ketua Umum PKKEI, Syamsul Bachri Yusuf kepada wartawan mengatakan dalam menyusun dokumen Amicus Curiae ini, bahwa PKKEI mengamati proses persidangan, mengumpulkan data dan informasi, melakukan FGD berkali-kali bersama para 81 amici yang terdiri dari 78 perseorangan dan 3 lembaga untuk menuangkan pendapat bersama.
“Perkara ini rumit, karena memerlukan pengetahuan dan pengalaman yang cukup terkait pemahaman kebijakan/penugasan pemerintah, aksi bisnis korporasi, tata-kelola BUMN, kelaziman bisnis LNG di dunia (best practice), konteks waktu dan peristiwa ketika kebijakan pengadaan ini diambil dengan kondisi saat ini,” jelasnya.
Syamsul menambahkan yang perlu diketahui dan ditanggapi secara serius oleh para BUMN dan masyarakat pada umumnya adalah bahwa dalam kasus ini Perhitungan Kerugian Keuangan Negara (PKKN) dilakukan per transaksi, sebelum kontrak berakhir (2040).
“Sampai dengan Desember 2023, sudah ada pengiriman sebanyak 97 kargo dan hanya 11 kargo yang rugi pada saat pandemi Covid (2020-2021) yang telah dijadikan dasar PKKN oleh BPK dan KPK,” terangnya.
Selain itu, tambah Syamsul yang dimintai pertanggung-jawaban pun salah orang, karena Direksi Pertamina sudah berganti berkali-kali dan pada 1 Oktober 2014, Karen Agustiawan telah resmi mengundurkan diri.
“Seharusnya bukan yang membuat kontrak pengadaan yang harus bertanggung jawab, yang kontraknya sendiri telah dibatalkan oleh SPA LNG 2015, melainkan pejabat yang menjual kenapa 11 kargo dijual rugi, sedangkan 86 kargo dijual untung,” tegasnya.
Dia juga mempertanyakan apakah PKKN harus dihitung per transaksi, karena dari 2019 hingga 2023 secara keseluruhan, terdapat 86 kargo untung dan 11 kargo rugi, yang secara akumulasi sudah menguntungkan Pertamina sebesar USD92 juta, setara Rp1,472 triliun.
“Saya dengar di persidangan, prognosa keuntungan hingga 2030 adalah sebesar USD218 juta atau setara Rp3,3 triliun (USD1 = Rp16.000),” ujarnya.
Dia pun berharap Majelis Hakim memahami dengan benar benang merah perkara ini secara utuh sehingga bisa mengambil keputusan yang seadil-adilnya, bahwa Direksi pada era Karen sudah menjalankan perintah jabatan, fiduciary duty, Doktrin Business Judgement Rule (BJR), Kelaziman Bisnis LNG global, dalam upaya mewujudkan Ketahanan Energi.
“Aksi korporasi Pengadaan LNG CCL yang dilakukan oleh Pertamina tahun 2013 dan 2014, berhasil memotret kondisi masa depan yang terjadi saat ini serta proyeksi kecukupan dan keterjangkauan harga gas 10 sampai 15 tahun ke depan,” ungkapnya.
Aksi Korporasi Pertamina pada era Karen Agustiawan yang visioner ini kata Syamsul seharusnya dijadikan model dari sebuah Praktik Bisnis Korporasi berbasis BJR dalam pemenuhan kebutuhan pasokan energi (LNG) untuk kebutuhan Pertamina, PLN, Industri dan masyarakat luas, sehingga tidak sepatutnya dikriminalisasi.
“Karena pengadaan LNG jangka panjang diperlukan untuk mewujudkan Ketahanan Energi dan Perekonomian Nasional, supaya ada jaminan ketersedian pasokan energi dengan volume yang banyak (availability). Pengadaan LNG dari CCL ini juga harganya kompetitif daripada domestik, sehingga memenuhi unsur affordability. Indonesia saat ini sedang mengalami masa transisi dari negara eksportir ke importir LNG, dan dalam beberapa tahun ke depan diprediksi akan menjadi net gas importer country,” pungkasnya.