Kupang, Portonews.com – Distribusi dana kompensasi bagi 15.481 pembudidaya rumput laut dan masyarakat pesisir di Nusa Tenggara Timur (NTT) akibat tumpahan minyak dan gas Montara terus berlanjut. Sejak Oktober 2023 lalu, dana kompensasi sudah disiapkan dan saat ini mulai disalurkan kepada para korban di Kabupaten Kupang dan Kabupaten Rote Ndao. Dua daerah itu termasuk dalam 13 kabupaten yang terdampak akibat ledakan ladang migas Montara pada 21 Agustus 2009. Adapun dana yang disiapkan PTT Exploration & Production (PTTEP) Australasia selaku pemilik kilang Montara itu merupakan ganti rugi atas dampak langsung yang menerpa nelayan dan pembudidaya rumput laut.
Seiring upaya distribusi dana kompensasi, pemerintah Indonesia tidak mengendurkan semangatnya untuk menegakkan keadilan atas kerusakan lingkungan. Pada saat bersamaan, gugatan resmi diajukan terkait kerusakan perairan laut dan kerugian ekosistem mangrove, padang lamun, dan terumbu karang. Gugatan ini diarahkan kepada PTTEP Australasia, sebuah badan usaha milik negara (BUMN) Thailand. Langkah ini mencerminkan determinasi pemerintah Indonesia untuk menegakkan keadilan lingkungan dan mendorong tanggung jawab perusahaan atas dampak buruk yang ditimbulkan.
Kerusakan Lingkungan: Tanggung Jawab Bersama
Ketua Yayasan Peduli Timor Barat (YPTB) Ferdi Tanoni menekankan urgensi penanganan kerusakan lingkungan hidup. Baginya, kerusakan lingkungan dan ekosistem jauh lebih besar daripada ganti rugi ekonomi yang diterima oleh nelayan dan pembudidaya rumput laut. Dalam wawancaranya dengan Portonews.com pada Minggu (14/1/2024), Ferdi menyatakan, “Kerusakan lingkungan hidup dan ekosistemnya sangat dahsyat dan jauh lebih besar. Ini juga menjadi tanggung jawab perusahaan, juga pemerintah Australia dan Thailand.”
KLHK Menyebutkan Kerugian Pencemaran Montara Mencapai Rp 23 Triliun
Meski dana kompensasi sudah mulai disalurkan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Indonesia tetap menyoroti dampak ekonomi yang signifikan akibat pencemaran Montara. KLHK menyebutkan bahwa kerugian akibat pencemaran mencapai Rp 23 triliun, menunjukkan besarnya beban ekonomi yang harus ditanggung oleh pemerintah dan masyarakat. Terlebih lagi, kerusakan ekosistem laut yang tak ternilai harganya mengingatkan semua pihak tentang urgensi pelestarian lingkungan dan keberlanjutan.
Dalam menghadapi tantangan ini, pemerintah Indonesia terus berkomitmen untuk melindungi lingkungan dan ekosistemnya. Gugatan resmi yang diajukan menjadi langkah konkret untuk menegakkan keadilan dan mengingatkan bahwa keberlanjutan lingkungan adalah tanggung jawab bersama. Dengan demikian, upaya reparasi dan rehabilitasi tidak hanya bersifat pemulihan ekonomi, tetapi juga sebagai langkah preventif untuk melindungi ekosistem laut di masa depan.
Rencana Gugatan Pemerintah Indonesia Terhadap Pencemaran Montara
Rencana gugatan terkait kerusakan lingkungan akibat pencemaran Montara sedang disiapkan oleh pemerintah Indonesia, dengan keterlibatan Kementerian Luar Negeri. Wakil Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Alue Dohong menyampaikan rencana ini dalam koordinasi dengan Menteri Koordinator bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut B Panjaitan, serta kementerian terkait. Dalam konferensi pers di Kantor Kemenko Maritim dan Investasi di Jakarta pada Kamis (24/11/2022), Alue mengungkapkan bahwa gugatan ini akan dilayangkan ke Australia pada semester pertama 2023.
Langkah Strategis Menuju Keadilan Lingkungan
Alue, pada saat itu, menegaskan bahwa pemerintah telah berkomitmen untuk menuntaskan urusan ganti rugi hingga pemulihan ekonomi dan lingkungan. Hal ini sesuai dengan arahan Presiden Joko Widodo kepada jajarannya. Meskipun informasi dari media lokal menyebutkan bahwa gugatan masih dalam tahap persiapan, namun, langkah strategis ini mencerminkan keseriusan pemerintah Indonesia dalam menegakkan keadilan lingkungan.
Gugatan Class Action dan Evaluasi Kerugian Lingkungan
Sementara gugatan sedang disiapkan, hasil keputusan pengadilan federal Australia terhadap class action pembudidaya rumput laut menjadi tambahan bukti yang penting. Kerugian atas kerusakan lingkungan hidup di Laut Timor diperkirakan mencapai Rp 23 triliun, menurut informasi yang diakui oleh KLHK. Namun, Ferdi Tanoni, Ketua Yayasan Peduli Timor Barat (YPTB), berpendapat bahwa jumlah kerugian sebenarnya lebih tinggi dari angka tersebut. Kerusakan tidak hanya disebabkan oleh migas yang meluber ke pesisir selatan dari 13 kabupaten di NTT, tetapi juga oleh dispersant, cairan kimia beracun. Penelitian tentang penyakit dan gatal-gatal pada korban yang terdampak pencemaran menjadi bukti nyata atas dampak buruk yang lebih kompleks.
Kesaksian Dispersant: Racun Tambahan dalam Pencemaran
Ferdi Tanoni menyoroti peran dispersant sebagai racun tambahan dalam pencemaran Montara. Pernyataannya didukung oleh sejumlah penelitian yang menunjukkan dampak negatif pada kesehatan masyarakat pesisir. Evaluasi kerugian tidak hanya melibatkan aspek ekonomi, tetapi juga aspek kesehatan yang memerlukan perhatian serius. Dengan fakta ini, gugatan yang sedang dipersiapkan diharapkan dapat menggambarkan dengan akurat seluruh dampak buruk yang ditimbulkan oleh peristiwa Montara, menciptakan dasar yang kuat untuk menegakkan keadilan dan mendapatkan reparasi yang layak.