Jakarta, Portonews.com-Seni panahan tradisional Jawa atau biasa disebut Jemparingan tidak hanya terkenal di tanah kelahirannya, Yogyakarta, melainkan sudah meluas hingga ke berbagai daerah, seperti Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, hingga Bali.
Seperti saat di Jakarta, Jemparingan tampil di sebuah acara dari rangkaian program publik yang dilaksanakan Yayasan Layang-layang Indonesia pada tahun 2024, dalam kerangka program Dukungan Institusional dari Dana Indonesiana, yang dijalankan oleh Kementerian Kebudayaan dan LPDP Kementerian Keuangan. Acara ini turut dikelola komunitas PAS Rekadaya.
“Saya pribadi senang sekali dengan adanya acara seperti ini, begitu juga dengan museum karena semakin banyak orang yang mengenal budaya itu semakin bagus. Kita buat sebanyak mungkin kegiatan yang berbau budaya. Kali ini kita baru ujicoba, kalau bagus bisa kita buat secara rutin,” kata Endang Ernawati, Pendiri dan Kepala Museum Layang-Layang Indonesia, saat ditemui wartawan, di acara Jemparingan, di Museum Layang-Layang Indonesia, Sabtu, (16/11/2024).
Berbicara soal budaya, panahan tradisional ini dikisahkan bermula pada masa Sri Sultan Hamengku Buwono I. Dua tahun setelah Perjanjian Giyanti (Palihan Nagari) 13 Februari 1755, yaitu pada tahun 1757, Sri Sultan Hamengku Buwono I mendirikan sebuah sekolah untuk mendidik prajurit dan rakyat yang terseleksi, salah satu mata pelajarannya adalah latihan memanah, atau jemparingan. Dari sinilah titik awal tradisi jemparingan Mataram berasal.
“Jemparingan adalah panahan tradisional yang awal mulanya Sultan Hamengkubuwono I mendirikan sekolah salah satunya panahan. Memanah itu kalau modern berdiri, tapi kalau tradisional Jawa duduk untuk melatih konsentrasi, mengolah rasa,” ujar M. Fauzan, seorang jemparing dari paguyuban Kober Archery Society, Banyumas, Jawa Tengah.
Menurut pria yang akrab disapa Ozen ini, ada beberapa kesulitan yang dihadapi bagi jemparing pemula, yaitu mengasah feeling dan teknik menarik panah.
Meski demikian, pada tradisi lama jemparingan, membidik sasaran tidak dengan mata fisik, tetapi dengan mata batin. Busur (gandewa) diposisikan horisontal di depan tubuh; anak panah ditarik ke arah dada-perut, tidak didepan mata; bidikan didasarkan pada perasaan, anak panah dilepaskan ketika hati sudah yakin akan mengenai sasaran. Ini yang dimaksud dengan olah rasa.
Saat ini gaya memanah sudah berubah, dikenal sabagai gaya Paku Alaman. Busur diposisikan vertikal, anak panah ditarik bukan ke arah dada, tapi ke arah mata, untuk membidik sasaran. Sementara posisi duduk bersila (atau timpuh) tetap dipertahankan, sebagai landasan proses konsentrasi.
Jemparingan pun kini sudah bernaung dalam Komite Olah Raga Masyarakat Indonesia (KORMI), yang menaungi pula permainan layang-layang, serta berbagai olahraga permainan lainnya. Meskipun gaya dan polanya ada yang berubah, namun filosofi jemparingan tetap dipertahankan, yakni pamenthanging gandewa pamenthanging cipta, yang bermakna proses membentangkan busur seiring dengan konsentrasi yang tertuju pada sasaran bidik.