Jakarta, Portonews.com – Kemenangan Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat ke-47 memberikan sinyal besar terhadap perubahan arah kebijakan energi dunia. Dengan visi yang menitikberatkan eksploitasi sumber daya energi domestik, Trump mengusung strategi untuk melepaskan Amerika Serikat dari ketergantungan pada kebijakan energi hijau yang ia labeli sebagai “Green New Scam.”
Dalam seratus hari pertamanya, Trump fokus pada tiga prioritas: pengetatan kebijakan imigrasi, pengurangan pajak, dan dorongan besar terhadap industri minyak dan gas (migas). Strateginya melibatkan pemangkasan regulasi yang menghambat industri energi, serta pemberian insentif besar-besaran untuk mendorong peningkatan produksi migas domestik. Tujuannya adalah menciptakan lebih banyak lapangan kerja, memperbaiki neraca perdagangan, serta memangkas harga energi dalam negeri hingga separuhnya hanya dalam setahun.
Slogan kampanye Trump, “We Will Drill, Baby, Drill!” menjadi simbol kebijakan energinya yang agresif. Migas, yang ia sebut “Liquid Gold” atau emas cair, menjadi tumpuan utama untuk mendorong pertumbuhan ekonomi Amerika. Namun, bagaimana kebijakan ini akan memengaruhi Indonesia? Produksi migas AS yang melonjak akan menggeser keseimbangan pasar energi global, menciptakan surplus pasokan yang berpotensi menekan harga minyak mentah. Dengan produksi global yang saat ini berada di kisaran 101–103 juta barel per hari, Amerika Serikat menyumbang sekitar 20% dari total tersebut, jauh di atas kontribusi Indonesia yang hanya 1,6%.
Para analis, seperti dari Citi dan Goldman Sachs, memperkirakan jika kebijakan Trump terealisasi, harga minyak dunia bisa kembali merosot hingga ke level $60 per barel, atau bahkan lebih rendah. Situasi ini mengingatkan pada periode 2014–2016, ketika lonjakan produksi AS menekan harga minyak mentah dari $100 menjadi $40–60 per barel. Untuk Indonesia, dampak dari penurunan harga migas ini akan bersifat dua sisi. Di satu sisi, subsidi energi dapat ditekan, namun di sisi lain, pendapatan negara dari sektor hulu migas, yang dalam APBN 2025 diasumsikan berdasarkan harga $80–85 per barel, bisa terancam. Oleh karena itu, perencanaan yang matang diperlukan untuk memitigasi dampaknya agar tidak mengganggu target pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 8%.
Jika harga minyak dunia anjlok, pemerintah Indonesia dapat memanfaatkan momen ini untuk menerapkan kebijakan penahan harga energi di tingkat ritel. Langkah ini dapat menghasilkan penghematan anggaran subsidi hingga Rp150 triliun, yang dapat dialihkan ke program pembangunan strategis. Namun, pemerintah perlu memastikan kebijakan ini tidak hanya menguntungkan segelintir pelaku usaha besar, melainkan benar-benar dirasakan oleh masyarakat luas. Dengan margin harga migas yang berlebih akibat kebijakan tersebut, pemerintah juga memiliki peluang untuk menarik pungutan tambahan, yang diproyeksikan dapat menghasilkan Rp70 triliun dalam setahun. Selain itu, pemerintah dapat memanfaatkan surplus fiskal untuk mempercepat reformasi subsidi energi, dari subsidi berbasis barang menjadi subsidi berbasis orang. Pendekatan ini dianggap lebih adil dan tepat sasaran, memungkinkan bantuan subsidi langsung diberikan berdasarkan data penerima yang terverifikasi.
Surplus fiskal juga dapat diarahkan untuk memperkuat ketahanan energi nasional. Investasi di sektor padat energi, seperti pengolahan mineral dan manufaktur, dapat ditingkatkan untuk menciptakan lapangan kerja baru dan meningkatkan nilai tambah sumber daya alam Indonesia. Di sisi lain, pembangunan infrastruktur energi yang sempat tertunda, seperti Floating Storage Regasification Unit (FSRU) dan jaringan gas kota, bisa dipercepat. Selain itu, pengembangan cadangan penyangga energi hingga mencapai target 30 hari kebutuhan nasional juga dapat menjadi prioritas. Tidak kalah penting, alokasi anggaran untuk pengembangan energi baru dan terbarukan (EBT) dapat diperkuat. Langkah ini mendukung pencapaian target kontribusi Indonesia dalam mengurangi emisi karbon sesuai Nationally Determined Contributions (NDC). Dengan demikian, ketika harga minyak kembali naik, Indonesia akan memiliki fondasi infrastruktur energi yang lebih kokoh.
Meskipun kebijakan fiskal tampak menjanjikan di sektor hilir, sektor hulu migas Indonesia menghadapi ancaman serius jika harga migas tetap rendah. Penurunan pendapatan negara dari sektor ini dapat menghambat investasi eksplorasi dan pengembangan migas. Sebagai langkah antisipasi, pemerintah perlu memberikan insentif bagi Kontraktor Kontrak Kerja Sama (K3S), seperti relaksasi pajak dan penyederhanaan regulasi. Langkah ini penting untuk menjaga keberlanjutan program eksplorasi dan mempertahankan target produksi 1 juta barel per hari.
Kebijakan “We Will Drill, Baby, Drill!” ala Trump memang berpotensi mengguncang pasar energi global. Namun, bagi Indonesia, ini juga merupakan peluang untuk melakukan reformasi strategis. Dengan perencanaan matang, Indonesia dapat memanfaatkan momentum ini untuk memperkuat ketahanan energi, mereformasi subsidi, mempercepat transisi energi, dan menjaga keberlanjutan program energi nasional. Langkah-langkah ini, jika diimplementasikan dengan tepat, dapat menjadi pijakan penting menuju visi Indonesia Emas 2045: ekonomi yang inklusif, berkelanjutan, dan tangguh menghadapi dinamika global.
Oleh: Dipl. Ing. Syamsul Bachri Yusuf MSi.(Han) – ([email protected])
Co-Founder ECONS (Energy, Economics & Conflict Studies) dan Alumnus Ketahanan Energi – Universitas Pertahanan