Jakarta, Portonews.com – Pada Agustus 2020, tragedi lingkungan yang memicu keadaan darurat nasional mengguncang Mauritius. MV Wakashio, sebuah kapal curah asal Jepang, kandas dan mengakibatkan sekitar 1.000 ton minyak tumpah ke lautan, mencatatkan peristiwa yang oleh para ilmuwan dianggap sebagai “bencana lingkungan terburuk” yang pernah menimpa negara pulau ini. Meski sudah tiga tahun berlalu, dampak dari insiden tersebut masih terasa, terutama di hutan bakau yang terletak dekat dengan situs konservasi Ramsar yang sangat penting.
Meskipun sebelumnya sudah ada dugaan bahwa minyak yang tersisa di kawasan ini berasal dari tumpahan Wakashio, bukti ilmiah yang menghubungkan langsung polusi tersebut dengan kapal tersebut masih sangat terbatas. Namun, sebuah studi terbaru yang dilakukan oleh para peneliti dari Curtin University, yang berkolaborasi dengan Woods Hole Oceanographic Institution, kini telah mengungkapkan kebenaran di balik dugaan tersebut.
Dr. Alan Scarlett, peneliti utama dari Curtin’s WA Organic and Isotope Geochemistry Center, menjelaskan bahwa bukti kimiawi dari minyak yang ditemukan di sedimen bakau hampir identik dengan bahan bakar yang tumpah dari Wakashio pada 2020, yang dikenal dengan jenis Very Low Sulfur Fuel Oil (VLSFO). Tumpahan ini adalah yang pertama kali tercatat menggunakan bahan bakar jenis ini.
“Masyarakat lokal di Mauritius telah menyadari adanya kontaminasi minyak di lahan basah bakau sejak insiden Wakashio, namun hingga kini belum ada konfirmasi resmi mengenai sumbernya,” kata Dr. Scarlett. “Mengidentifikasi dan mengakui kontaminasi ini sangat penting, baik bagi masyarakat Mauritius maupun untuk pemahaman global, karena sedikit yang diketahui tentang bagaimana perilaku bahan bakar laut baru ini setelah tumpah.”
Penelitian ini menggunakan teknik kimia canggih untuk menganalisis sampel sedimen dari lahan basah bakau. Hasilnya menunjukkan bahwa meskipun minyak tersebut telah mengalami pelapukan dan biodegradasi dalam tiga tahun sejak kecelakaan, keberadaannya masih menimbulkan risiko terhadap ekosistem bakau yang sangat sensitif.
“Walaupun banyak senyawa beracun dalam minyak telah hilang atau berkurang selama proses biodegradasi, kehadiran minyak ini tetap bisa membahayakan ekosistem,” tambah Dr. Scarlett. Dalam penelitian sebelumnya yang dilakukan bersama Woods Hole Oceanographic Institution, tim Curtin berhasil memperoleh “sidik jari” kimia dari minyak yang tumpah, yang memungkinkan mereka memastikan bahwa minyak di sedimen bakau berasal dari tumpahan Wakashio.
Sejak tumpahan tersebut, berbagai spekulasi telah beredar mengenai jenis bahan bakar yang tumpah, termasuk klaim tentang bahan bakar yang disebut “Frankenstein.” Dr. Scarlett menjelaskan, “Kami memperoleh sampel minyak dari garis pantai sekitar delapan kilometer dari kapal yang kandas, dan melalui serangkaian analisis kimia dan isotop canggih, kami dapat memastikan bahwa minyak tersebut berasal dari Wakashio.”
Para peneliti juga menemukan bahwa bahan bakar dari tumpahan tersebut mengandung lebih sedikit komponen beracun dibandingkan dengan bahan bakar minyak berat lainnya. Namun, meskipun dampaknya terhadap organisme laut mungkin tidak seburuk tumpahan minyak dengan bahan bakar yang lebih tua, potensi dampak jangka panjang masih tetap menjadi tantangan.
Penelitian ini penting, tidak hanya untuk memahami dampak tumpahan minyak ini terhadap Mauritius, tetapi juga untuk merumuskan strategi respons terhadap tumpahan minyak di masa depan, terutama yang melibatkan VLSFO. Dengan sedikitnya data tentang perilaku VLSFO, temuan ini memiliki implikasi global bagi negara-negara yang berpotensi menghadapi kejadian serupa.
“Sayangnya, tumpahan minyak dari kapal masih sering terjadi, sehingga kemungkinan besar kita akan menghadapi tumpahan minyak yang melibatkan VLSFO lagi di masa depan,” kata Dr. Scarlett. “Temuan kami akan membantu negara-negara, termasuk Australia, dalam mengembangkan strategi baru untuk merespons tumpahan minyak.”
Studi ini menyoroti pentingnya pemahaman lebih dalam tentang dampak tumpahan minyak terhadap ekosistem dan masyarakat, serta membantu negara-negara di seluruh dunia dalam merencanakan respons yang lebih efektif terhadap bencana serupa di masa depan.
Sumber : oceanographicmagazine