Muthanna, Irak, Portonews.com – Pasokan air di seluruh Provinsi Muthanna dihentikan sementara setelah tumpahan minyak mencemari Sungai Rumaitha sejak Sabtu malam. Pengumuman tersebut disampaikan oleh Direktorat Air Muthanna melalui pernyataan resmi pada Minggu (17/11).
Dalam pernyataannya, Direktorat Air Muthanna menyebutkan bahwa “semua proyek air di sepanjang sungai telah dihentikan akibat tumpahan minyak yang mencemari Sungai Rumaitha sejak malam kemarin.”
Tumpahan ini tidak hanya mengancam pasokan air untuk kebutuhan domestik tetapi juga berdampak pada sektor pertanian, yang sangat bergantung pada aliran air sungai di wilayah tersebut.
Gubernur Muthanna, Muhannad Abdul-Ali, bersama asistennya untuk sumber daya air, Yousif Sawadi, dan berbagai departemen terkait dari Direktorat Sumber Daya Air serta Direktorat Lingkungan, saat ini tengah berkoordinasi untuk menyelesaikan krisis tersebut.
Insiden ini mencerminkan tantangan besar dalam menjaga keselamatan lingkungan dan keandalan fasilitas umum di Irak, terutama di tengah infrastruktur yang menua dan risiko kecelakaan industri yang meningkat.
Provinsi Muthanna, yang terletak di Irak bagian selatan, sangat bergantung pada air sungai untuk kebutuhan sehari-hari maupun pertanian. Kasus pencemaran seperti ini menunjukkan perlunya perhatian lebih terhadap pengelolaan sumber daya air dan infrastruktur yang mendukungnya.
Regulasi yang berlaku di Indonesia
Berita mengenai tumpahan minyak di Sungai Rumaitha, Irak, dapat dikaitkan dengan regulasi di Indonesia dalam mengelola pencemaran lingkungan akibat tumpahan minyak. Di Indonesia, penanggulangan kasus serupa telah diatur melalui Peraturan Menteri Perhubungan (PM) Nomor 58 Tahun 2013 tentang Penanggulangan Pencemaran di Perairan dan Pelabuhan. Regulasi ini bertujuan menjaga kelestarian lingkungan perairan dan pelabuhan, sekaligus mencegah dampak ekonomi dan sosial yang merugikan masyarakat sekitar.
Menurut PM 58 Tahun 2013, perusahaan yang bertanggung jawab atas tumpahan minyak wajib menjalankan prosedur penanganan dan penyelesaian pencemaran sesuai standar yang ditetapkan. Apabila tidak mematuhi regulasi, perusahaan dapat dikenai berbagai sanksi, seperti denda, pencabutan izin usaha atau operasi, hingga pembekuan kegiatan usaha. Sanksi yang diterapkan bergantung pada tingkat kesalahan yang dilakukan perusahaan.
Selain itu, PM 58 juga mewajibkan perusahaan untuk memiliki rencana tanggap darurat yang telah disetujui oleh pemerintah sebagai langkah antisipasi. Pengawasan dan pelaporan terhadap aktivitas penanggulangan pencemaran diatur secara ketat dalam peraturan ini. Dengan langkah-langkah ini, PM 58 tidak hanya melindungi lingkungan, tetapi juga mencegah kerugian ekonomi yang signifikan bagi masyarakat yang bergantung pada ekosistem perairan.
Kasus seperti di Sungai Rumaitha, yang mengganggu pasokan air dan aktivitas masyarakat, menjadi pengingat pentingnya pengelolaan tumpahan minyak secara tepat dan tegas. PM 58 dapat menjadi panduan untuk memastikan bahwa pencemaran lingkungan di Indonesia, baik di sungai, laut, maupun pelabuhan, dapat ditangani secara efektif, mencegah kerusakan ekosistem yang meluas seperti yang terjadi di Irak.
Regulasi seperti ini menekankan pentingnya tanggung jawab perusahaan dalam mengelola risiko lingkungan, serta memastikan keberlanjutan bagi ekosistem dan kesejahteraan masyarakat.
Peranan pihak swasta
Peristiwa tumpahan minyak di Sungai Rumaitha, Irak, menyoroti pentingnya kesiapsiagaan dan kolaborasi berbagai pihak dalam menangani pencemaran lingkungan. Di Indonesia, insiden serupa di perairan telah diatur secara tegas melalui regulasi seperti PM 58 Tahun 2013, yang menetapkan tata cara penanganan dan sanksi untuk perusahaan yang bertanggung jawab. Namun, regulasi saja tidak cukup; diperlukan peran aktif dari perusahaan swasta yang memiliki keahlian khusus, seperti OSCT Indonesia, untuk memberikan solusi penanganan yang profesional dan efektif.
OSCT Indonesia telah terbukti menjadi mitra andal dalam menangani tumpahan minyak, seperti pada insiden Balikpapan tahun 2018. Dengan pelatihan OPRC IMO Level 1, 2, dan 3 yang terakreditasi, OSCT mampu membekali berbagai pihak, mulai dari responder lapangan hingga manajer senior, untuk menangani tumpahan minyak secara efisien. Infrastruktur yang lengkap dan tenaga ahli berpengalaman menjadikan OSCT salah satu pemain utama dalam mitigasi pencemaran minyak di Indonesia dan kawasan sekitarnya.
- Peningkatan Kolaborasi Multistakeholder
Kasus pencemaran seperti di Sungai Rumaitha dapat menjadi pelajaran bagi Indonesia untuk terus meningkatkan kolaborasi antara pemerintah, masyarakat, dan perusahaan jasa seperti OSCT Indonesia. Hal ini penting untuk memastikan respons yang cepat dan terkoordinasi dalam menghadapi tumpahan minyak. - Penguatan Pelatihan dan Kesiapan Responder
Pelatihan penanggulangan tumpahan minyak yang disediakan oleh OSCT Indonesia, seperti OPRC IMO Level 1 hingga 3, harus dimanfaatkan secara optimal oleh perusahaan yang beroperasi di sektor minyak dan gas. Dengan pelatihan ini, kemampuan teknis dan strategis responder di lapangan dapat terus ditingkatkan. - Pembangunan Infrastruktur Penanggulangan
Meniru langkah OSCT Indonesia yang memiliki enam pangkalan dan fasilitas lengkap, pemerintah dan perusahaan lokal perlu memperkuat infrastruktur untuk penanganan pencemaran di berbagai wilayah strategis, termasuk perairan yang rentan terhadap pencemaran. - Peningkatan Kesadaran Lingkungan
Sosialisasi tentang dampak tumpahan minyak terhadap lingkungan dan ekonomi harus diperluas. Ini tidak hanya melibatkan regulator dan perusahaan, tetapi juga masyarakat yang tinggal di sekitar perairan untuk mendukung upaya pelestarian lingkungan. - Peningkatan Standar Keamanan Operasional
Perusahaan yang beroperasi di sektor minyak dan gas harus mengadopsi standar keamanan tinggi untuk mencegah pencemaran. Rencana kontinjensi harus diperbarui secara berkala agar sesuai dengan regulasi dan kondisi lingkungan terbaru.
Melalui langkah-langkah tersebut, insiden pencemaran minyak di Indonesia dapat diminimalkan, dan jika terjadi, dapat ditangani secara efektif tanpa menimbulkan kerugian besar bagi lingkungan maupun masyarakat.
(*)