Banyuwangi, Portonews.com – PT Pertamina (Persero) menegaskan komitmennya dalam mendukung transisi energi Indonesia dengan menjadikan biofuel atau bahan bakar berbasis tanaman sebagai salah satu kunci strategis. Inisiatif ini didukung penuh oleh legislator dan pemerintah, sebagai bagian dari upaya nasional untuk mengurangi emisi karbon dan beralih ke sumber energi yang lebih ramah lingkungan.
Wakil Ketua MPR RI dan Anggota Komisi XII DPR RI, Eddy Soeparno, dalam pernyataan tertulisnya pada Jumat, 15 November 2024, menjelaskan bahwa Indonesia memiliki potensi sumber daya alam yang melimpah untuk produksi biofuel. “Indonesia juga memiliki sumber biofuel yang melimpah. Saat ini kita menggunakan B35, biodiesel 35, dari CPO. Kita memiliki sumber tebu, singkong, yang bisa digunakan sebagai bahan bakar nabati,” kata Eddy Soeparno.
Pertamina juga telah mengembangkan Sustainability Aviation Fuel (SAF) berbasis biofuel, termasuk dari minyak goreng bekas. CEO Pertamina New & Renewable Energy (PNRE), John Anis, mengungkapkan bahwa Indonesia telah berhasil mencampur 5% bahan bakar penerbangan berkelanjutan. Proyek ini telah diuji coba dalam penerbangan dua tahun lalu dan akan terus dikembangkan.
“Kami memiliki banyak program, namun ini didasarkan pada apa yang kami sebut sebagai strategi pertumbuhan ganda. Karena kita masih memerlukan bahan bakar fosil, namun lebih bersih, dan pada saat yang sama kita harus mulai beralih ke bisnis rendah karbon,” ujar John. Menurutnya, PNRE terus meningkatkan kapasitas pembangkit energi terbarukan (EBT) sembari mengembangkan biofuel.
Di sisi lain, Pertamina juga sedang mempersiapkan peta jalan untuk pengembangan bioetanol hingga 2031 sebagai bagian dari upaya dekarbonisasi di sektor transportasi. John Anis menargetkan, pada 2034, permintaan biofuel akan mencapai 51 juta liter. Selain itu, Pertamina NRE juga menjalin kerjasama dengan PT Sinergi Gula Nusantara (SGN) untuk membangun pabrik bioetanol di Banyuwangi dengan kapasitas produksi 30 ribu kiloliter (KL) per tahun.
“Untuk bioetanol, kita memiliki ambisi meningkatkan kapasitas produksi, salah satunya dengan reaktivasi pabrik di Banyuwangi, Glenmore, dengan mengambil molase sebagai bahan baku bioetanol tanpa mengganggu produksi gula,” jelas John, seperti yang dikutip dari swa.co.id.
Dalam hal perdagangan karbon, Pertamina NRE telah menjadi pemain utama dengan menguasai 93 persen pangsa pasar karbon di Indonesia. Kredit karbon yang dihasilkan tidak hanya berasal dari pembangkit listrik berbasis energi rendah karbon, tetapi juga dari nature-based solutions (NBS). Sejak memulai perdagangan karbon di bursa karbon tahun lalu, sebanyak 864 ribu ton CO2 kredit karbon telah terjual habis.
John Anis menekankan bahwa untuk mengakselerasi transisi energi di Indonesia dan mencapai target 75 GW listrik berbasis EBT dalam 15 tahun mendatang, kolaborasi antara semua pihak sangat diperlukan. Kolaborasi ini bertujuan agar investasi dan pengembangan EBT menjadi lebih agresif dan dapat diakses dengan harga yang lebih terjangkau oleh masyarakat. (*)