Jakarta, Portonews.com – Pelemahan nilai tukar rupiah berdampak terhadap keseimbangan fiskal karena mempengaruhi pos pendapatan dan belanja di APBN. Pelemahan rupiah juga memberikan dampak secara langsung terhadap harga energi di Indonesia. Hal itu terkait dengan struktur perekonomian Indonesia yang cukup tergantung terhadap impor. Kebijakan moneter ketat yang diimplementasikan oleh European Central Bank (ECB) dalam beberapa tahun terakhir dan Bank Sentral Amerika (The Fed) yang juga mulai menerapkan kebijakan serupa, menjadi salah satu faktor penyebab melemahnya nilai tukar rupiah. Data juga menunjukkan ketika harga minyak meningkat nilai tukar sebagian besar mata uang termasuk rupiah terhadap dollar cenderung melemah. Demikian diungkapkan oleh Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro.
Menurutnya, pelemahan nilai tukar rupiah berpotensi memberikan dampak negatif terhadap kondisi fiskal Indonesia. Untuk APBN 2024, setiap pelemahan rupiah sebesar Rp 100 per USD berpotensi meningkatkan pendapatan negara sekitar Rp 4 triliun. Akan tetapi, pelemahan tersebut memberikan konsekuensi terhadap meningkatnya belanja negara sekitar Rp 10,20 triliun.
“Artinya, setiap pelemahan rupiah sebesar Rp 100 per USD berpotensi meningkatkan defisit APBN sekitar Rp 6,20 triliun,” kata Komaidi pada Portonews, beberapa waktu lalu di Jakarta. Selain pelemahan rupiah, peningkatan harga minyak (ICP) juga memberikan dampak negatif terhadap kondisi fiskal Indonesia.
“Setiap peningkatan harga minyak sebesar 1 USD per barel berpotensi meningkatkan pendapatan negara sekitar Rp 3,6 triliun. Akan tetapi, peningkatan tersebut memberikan dampak terhadap meningkatnya belanja negara sekitar Rp 10,10 triliun. Artinya, setiap peningkatan harga minyak sebesar 1 USD per barel berpotensi meningkatkan defisit APBN 2024 sekitar Rp 6,50 triliun,’ paparnya.
Menurut dia, kebijakan moneter ketat yang diberlakukan oleh sejumlah negara, pelemahan rupiah, dan kecenderungan peningkatan harga minyak memberikan dampak terhadap kinerja APBN 2024. Sampai dengan kuartal pertama (Q1) 2024, pendapatan negara dilaporkan lebih rendah dibandingkan periode yang sama pada tahun sebelumnya. Sementara, belanja negara justru lebih tinggi dibandingkan tahun sebelumnya.
Sampai dengan Q1-2024, pendapatan negara dilaporkan sekitar 7,57 % lebih rendah dibandingkan Q1-2023. Penerimaan pajak dilaporkan turun 9,29% dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dilaporkan turun 6,69 %. Realisasi belanja negara baik untuk pemerintah pusat dan transfer ke daerah pada periode yang sama justru dilaporkan lebih tinggi dibandingkan tahun sebelumnya.
Komaidi menilai, pelemahan rupiah dan/atau peningkatan harga minyak (ICP) memberikan dampak langsung terhadap meningkatnya biaya pengadaan energi (listrik, BBM, gas) di Indonesia. Peningkatan biaya pengadaan energi di Indonesia dapat disebabkan karena meningkatnya harga bahan baku dan/atau akibat selisih kurs rupiah.
Berdasarkan simulasi keterkaitan antara biaya pengadaan BBM dengan harga minyak mentah dan nilai tukar rupiah ditemukan bahwa setiap peningkatan harga minyak mentah sebesar 1 USD per barel akan meningkatkan biaya pengadaan BBM sekitar Rp 150 per liter. Sementara, setiap pelemahan rupiah sebesar Rp 100 per USD, akan meningkatkan biaya pengadaan BBM sekitar Rp 100 per liter.
Berdasarkan data, lanjut Komaidi, rata-rata realisasi kurs tengah Bank Indonesia selama 1 Januari – 26 Juni 2024 adalah Rp 15.892 per USD atau lebih tinggi Rp 892 per USD dibandingkan asumsi APBN 2024.
“Jika mengacu pada hasil simulasi poin 6 (berdasarkan simulasi keterkaitan antara biaya pengadaan BBM dengan harga minyak mentah dan nilai tukar rupiah ditemukan bahwa setiap peningkatan harga minyak mentah sebesar 1 USD per barel akan meningkatkan biaya pengadaan BBM sekitar Rp 150 per liter) pelemahan rupiah tersebut memberikan dampak terhadap meningkatnya biaya pengadaan BBM sekitar Rp 705 untuk setiap liternya,” paparnya. Peningkatan biaya pengadaan BBM akan lebih besar lagi jika memperhitungkan realisasi rata-rata ICP pada periode yang sama tercatat lebih tinggi dibandingkan asumsi APBN 2024.
Lebih jauh Komaidi menerangkan, dampak pelemahan nilai tukar terhadap harga energi khususnya BBM terpantau juga dialami oleh hampir semua negara. Sebagai gambaran rata-rata harga BBM untuk jenis Bensin RON 95 selama Januari- Juni 2024 dari sejumlah negara seperti Singapura, Filipina, Thailand, Laos, dan Vietnam masing-masing adalah Rp 33.850/liter, Rp 19.302/liter, Rp 16.850/liter, Rp 23.650/liter, dan Rp15.033/liter.
“Jika mempertimbangkan kondisi realisasi APBN sampai Q1-2024 serta memperhatikan aspek keberlanjutan ketersediaan BBM di dalam negeri, penyesuaian harga BBM kemungkinan akan menjadi opsi yang cukup logis di tengah relatif terbatasnya opsi kebijakan yang dapat diambil oleh pemerintah,” jelasnya. Kebijakan harga yang kurang proporsional dan terbatasnya anggaran subsidi berpotensi menimbulkan risiko ekonomi dan sosial yang besar akibat terganggunya keberlanjutan pasokan BBM di dalam negeri.
Meskipun kemungkinan akan menjadi opsi kebijakan yang cukup logis, Komaidi berharap pemerintah perlu mengantisipasi potensi risiko yang dapat ditimbulkan dari kebijakan penyesuaian harga BBM. Produk domestik bruto (PDB) Indonesia baik berdasarkan pendekatan sektoral maupun kelompok pengeluaran memiliki keterkaitan yang kuat dengan harga energi. Berdasarkan kelompok pengeluaran, sekitar 55 % PDB Indonesia merupakan kontribusi dari sektor konsumsi yang relatif sensitif terhadap tingkat inflasi.
Level harga energi yang optimal memiliki peran penting dalam mencapai target makro ekonomi termasuk target penerimaan negara di APBN. Hal itu karena sekitar 82 % pendapatan negara pada APBN 2024 direncanakan berasal dari penerimaan perpajakan yang sangat ditentukan oleh realisasi pertumbuhan ekonomi (PDB). “Sekitar 50 % penerimaan perpajakan dikontribusikan oleh sektor industri dan sektor perdagangan yang memiliki keterkaitan cukup kuat dengan ketersediaan energi,” tuturnya.
Mencermati permasalahan yang ada tersebut, kata Komaid, pihaknya menilai saat ini pemerintah menghadapi tantangan yang relatif sulit untuk dapat memformulasikan kebijakan fiskal dan kebijakan harga energi yang optimal untuk mengantisipasi dampak negatif yang berpotensi ditimbulkan dari pelemahan nilai tukar rupiah.