Jakarta, Portonews.com – Sesuai kajian Indef mengenai kemunduran demokrasi sejak tahun 2020 hasilnya tidak membahagiakan, karena hal tersebut terjadi bahkan lebih buruk dari yang telah diprediksi. Demikian disampaikan Wijayanto, Ph.D pada diskusi “Masa Depan Demokrasi Jika Dinasi Jokowi Menang” yang diselenggarakan Universitas Paramadina bekerjasama dengan LP3ES secara daring, Selasa (9/1/2024).
Wijayanto yang juga merupakan Direktur Center Media dan Demokrasi LP3ES mengutip Levitsky dan Ziblatt (2018), bahwa ada empat indikator perilaku otoriter yaitu penolakan (atau komitmen lemah) atas aturan main demokratis, menyangkal legitimasi lawan politik, toleransi atau anjuran kekerasan, kesediaan membatasi kebebasan sipil lawan termasuk media.
“Bahkan ada enam mitos politik yang dituliskan oleh Yoes Kenawas (2023), tidak ada dinasti politik dalam demokrasi, dinasti politik adalah entitas politik yang sangat kuat, politik dinasti tidak terlepas dari kultur patrimonial masyarakat Indonesia, dinasti politik disebabkan ketimpangan ekonomi dan masyarakat alergi terhadap politik dinasti pencalonan Gibran sebagai cawapres bukan bentuk politik dinasti.”
“Rezim hari ini hanya butuh 9 tahun untuk menyerupai Orde Baru, dimana saat Orde Baru membutuhkan waktu 20 tahun untuk bisa berkuasa. Apakah kita harus terus menerus menunggu? Padahal sudah terlihat dengan jelas berbagai gejala kemunduran demokrasi ini,” ungkapnya.
Narasumber lainnya Bivitri Susanti menyatakan bahwa Fenomena autocratic legalism dalam demokrasi adalah cara pandang yang mengedepankan legalisme yaitu segala sesuatu berlandaskan hukum bernegara, namun berakhir dengan otokratisme.
“Serangan yang terencana dan berkesinambungan pada institusi-institusi yang tugasnya justru mengawasi tindakannya, rmandat demokratiknya yaitu ditandai dengan pelemahan DPR, pelemahan masyarakat sipil, pembunuhan KPK dan pelemahan MK. Semua dilakukan dalam koridor hukum, melalui pembentukan peraturan perundangan dan penegakan hukum. Tujuan akhirnya dengan kontrol yang lemah, demokrasi dapat diselewengkan,” tegasnya.
Bivitri melihat dari perspektif hukum bahwa pada masa pemerintahan Jokowi, dirusaknya lembaga-lembaga pengontrol pemerintahan.
“Demokrasi dikelola dengan pagar negara hukum, yaitu pembatasan kekuasaan dan hak asasi manusia. Tidak asal ‘suara terbanyak’. Tetapi ada tuntutan prinsip pembatasan kekuasaan dalam menjaga hak asasi warga negara,” katanya.
Menyinggung kemunduran demokrasi Hendri Budi Satrio mengingatkan, “Muncul pertanyaan besar, siapa simbol yang bisa mengalahkan Jokowi saat ini? Tidak ada jawaban pasti dari pertanyaan tersebut, singkatnya adalah kembalinya demokrasi Indonesia kembali ke titik nol, dengan tujuan dapat membangun society yang baru. Tetapi dengan biaya yang dikeluarkan akan sangat besar,” tegasnya.
“Ide yang sangat ekstrim ini untuk bisa menarik garis jelas adalah penguasa yang ingin terus berkuasa dibalik kata demokrasi, mudah-mudahan dapat terjalinnya komunikasi kubu 01 dan 03 dengan tujuan tidak berlanjutnya politik dinasti dari rezim Jokowi,” ujar Hendri.
Narasumber lainnya, Eep Saefulloh Fatah menyatakan bahwa pada dasarnya setiap orang berpotensi untuk menyelewengkan kekuasaan. “Jika periode presiden terjadi dua periode itu harus diatur ulang, karena dikhawatirkan yang bersangkutan ikut terlibat dalam penyelewengan kekuasaan, bersikap tidak adil, memihak, dan lain sebagainya,” ungkapnya.
“Membuat Jokowi menang, secara tidak langsung mengalahkan demokrasi. Tetapi tidak ada jaminan demokrasi akan menang jika Anies atau Ganjar yang menang. Yang harus menjadi agenda berikutnya adalah melakukan rehabilitasi demokrasi,” tegasnya.
“Jokowi sendiri sebenarnya harus diperlakukan sama dengan siapapun dari sisi mitologis dan historisnya. Sisi mitologis Jokowi sangat diframing berlebihan, tetapi tidak perlu disesali karena kita harus terus bertarung dalam dinamika demokrasi,” tandasnya.